DIKTAT KULIAH
GEOGRAFI REGIONAL
Disusun Oleh:
Drs. Soetjipto, S.H., S.E., M.Pd.
PROGRAM STUDI IPS
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2014
BAB I
PENGERTIAN REGION DAN GEOGRAFI REGIONAL
A. Region
Dalam berbagai kesempatan baik secara resmi ataupun tidak resmi
sering kali orang mengucapkan kata region, daerah,
wilayah, space, dan area.
Keempat kata tersebut
secara bahasa merupakan sinonim, tetapi
mempunyai penerapan yang berbeda yakni menyesuaikan
dengan konteksnya. Istilah yang sering dipakai dalam terminology berbagai dsiplin ilmu
terutama
ilmu kebumian
dan teknik perencanaan, seperti ilmu
geografi, geodesi, planologi dan lain-lain
adalah region dan spasial. Dalam
bahasa Inggris Anglosaxon, lebih banyak digunakan istilah
region, sedangkan istilah
spasial (space) yang berbentuk kata sifat kini popular
bersamaan munculnya
berbagai teknik analisis keruangan (spatial analysis) dengan menggunakan berbagai perangkat lunak.
Region adalah suatu wilayah yang
memiliki ciri-ciri keseragaman
gejala internal (internal uniformity) atau fungsi yang membedakan
wilayah tersebut dengan wilayah lain. Ciri-ciri keseragaman tersebut dapat berupa kenampakan sosial maupun kenampakan fisik. Kenampakan
sosial antara
lain berupa kegiatan perekonomian/mata pencaharian, bentuk
pemerintahan, bentuk kebudayaan,
atau kenampakan fisik, yang dapat berupa keseragaman iklim, kesamaan topografi (dataran, pegunungan, lembah, dan lain-lain), kesamaan lokasi geografis, dan lain-lain.
Region
yang penentuannya didasarkan
pada
keseragaman gejala internal
sebagaimana tersebut di atas disebut dengan formal region.
Sementara region juga dapat dilihat
sebagai bagian dari suatu sistem, dalam arti bahwa suatu region berhubungan
dengan region lainnya sebagai suatu sistem, dalam hal ini region disebut sebagai functional region. Sebagai
contoh functional region, suatu
region
dapat
berfungsi
sebagai pusat
perkotaan dan berhubungan
dengan region lainnya yang berfungsi sebagai perdesaan. Jadi kota menjadi
pusat perdagangan
dan
desa sebagai pensuplai bahan mentah/komoditi yang diperdagangkan (Suparmat, 1989).
Untuk melakukan regionalisasi suatu bagian permukaan bumi dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, yakni dengan menggunakan aspek
tertentu yang dimiliki secara bersama-sama oleh bagian-bagian permukaan bumi tersebut,
sehingga antar bagian permukaan bumi tersebut menjadi
relatif homogin. Secara umum regionalisasi bagian-bagian permukaan bumi ini dapat dilakukan dengan menggunakan 4 dasar, yakni: river
basin,
similarity, functionality, dan
adhoc. Sementara
dalam ilmu wilayah dikenal beberapa paradigma wilayah yang dapat digunakan untuk pewilayahan,
dan dapat dijadikan dasar bagi pengaturan dalam undang-undang penataan
ruang,
yakni: Daerah aliran sungai, Wilayah
homogin, Wilayah nodal,
Wilayah metropolitan, Wilayah pengelolaan (Son Diamar dalam Jakub Rais,
2004).
1. River Basin
A river basin is the land that water flows across or under on its way to
a river. As a bathtub catches
all the water that falls within its sides, a river
basin sends all the water falling on the surrounding land into a central river and out to an estuary or the sea. A river basin drains all the land
around a major river. Basins can be divided into watersheds,
or areas of
land around a smaller river, stream or lake. The landscape is made up of
many
inter-connected basins, or watersheds. Within each watershed, all water runs to the lowest
point—a stream, river, lake or ocean. On its way, water travels over the surface and across farm fields, forestland, suburban
lawns and city streets,
or it
seeps
into the soil and travels as groundwater. Large river basins such as the
Neuse and Cape Fear are
made
up of many smaller watersheds (www.ncwildlife.org).
Regionalisasi berdasrkan azas
river basin adalah penentuan suatu
permukaan bumi
sebagai suatu region berdasarkan satuan lahan aerah aliran sungai (DAS) atau
watershed. River basin adalah daerah yang menjadi tempat presipitasi air hujan yang dibatasi oleh igir-igir, sehingga
air huja terkonsentrasi melalui berbagai anak sungai menuju sungai utama
yang
merupakan satu
outlet
menuju ke laut. DAS
merupakan satuan
ekosistem yang kompleks
dan luasnya dapat
melebihi
luas wilayah administrative
kabupaten, meskipun mungkin tidak selalu
demikian tetapi pada umumnya
DAS lebih luas dari wilayah
administrative kabupaten.
DAS
secara garsis besar dibagi
menjadi 3,
yakni DAS berbentuk bulu burung, menyebar, dan sejajar (lihat gambar
1). Bentuk-bentuk DAS dapat dilihat
pada gambar Dalam DAS terdapat
berbagai komponen fisik, biotic, tutupan/ penggunaan lahan yang berbeda
karakteristiknya antara bagian hulu, tengah dan hilir. Semua
permukaan daratan ini merupakan bagian dari DAS-DAS. DAS biasanya
dinamakan sesuai dengan nama sungai utamanya. Untuk keperluan pembangunan
regional, azas inilah yang paling tepat diabandingkan dengan azas lainnya karena pembangunan
yang memperhatikan karakteristik DAS ini akan selaras dengan lingkungan dan berarti dapat
meminimalkan dampak negatif.
2. Similarity
Azas similarity atau azas kesamaan, ada yang menyebutnya sebagai azas homoginity adalah
suatu dasar untuk
menentukan bahwa suatu
bagian permukaan bumi dinyatakan sebagai suatu region karena memiliki
karakteristik yang homogin atau kesamaan tertentu baik secara
fisik maupun budaya (kultur). Secara fisik aspek yang menjadi ciri khas
kesamaan dapat berupa
letak
geografis, fisiografis (bentuk lahan,
jenis tanah, geologis), klimatologis, keterkaitan
dengan kondisi fisiografis
dengan daerah lain. Kesamaan secara kultur dapat berupa mata pencaharian, adat istiadat, latar belakang
sejarah, ideologis, tingkat
peradaban, dan lain-lain.
Kedua aspek similaritas ini dapat berlaku secara
sendiri-sendiri
dan
dapat pula secara komplementar. Region yang
terwujud karena similaritas komplementer biasanya soliditasnya
lebih kuat.
Kesamaan secara fisik saja tidak cukup untuk dianggap sebagai
region yang solid, karena banyak bukti menunjukkan
banyak wilayah- wilayah di permukaan bumi ini yang secara
fisik sebagai satu region tetapi defacto menjadi tidak satu region.
3. Functionality
Suatu bagian permukaan bumi dapat dinyatakan sebagai sebuah region karena memiliki kesamaan fungsi. Suatu daerah memiliki fungsi tertentu
bila
dikaitkan dengan daerah lainnya. Fungsi tersebut muncul
karena adanya perbedaan potensi fisik, budaya atau perpaduan antara fisik dan budaya. Suatu daerah dapat dinyatakan
sebagai penghasil tembakau,
pengimpor beras,
pengekspor minyak, dan
lain-lain.
Di
daerah perkotaan ada daerah yang disebut
pusat kota, pusat bisnis, dan lain-lain.
Penamaan tersebut karena
secara
sistemik, terdapat
daerah yang menghasilkan suatu komoditi dan ada daerah
yang mengkonsumsi komoditi. Demikian pula
bagian
dari wilayah
kota,
ada yang tidak
menjadi pusat, ada daerah kota yang tidak berfungsi sebagai pusat bisnis
dan sebaliknya. Termasuk dalam penamaan kota dan desa, keduanya
dapat dianggap mempunyai
fungsi yang berbeda,
sehingga keduanya menjadi region sendiri-sendiri dalam satu sistem.
4. Adhoc
Adalah penentuan region berdasarkan salah satu kesamaan karakter yang dimiliki oleh bagian tertentu dari permukaan bumi yang
bersifat relative/tidak
tetap atau sementara, karena ada peristiwa
tertentu atau untuk
tujuan
tertentu.. Suatu daerah
dapat dianggap sebagai
satu
region oleh hanya satu atau lebih kesamaan bahkan
kesamaan tersebut dapat diciptakan untuk maksud tertentu. Contoh regionalisasi berdasar azas adhoc adalah region endemic flu burung, region A dan B yang berbeda secara administrative
dapat menjadi satu region
karena keduanya
sama-sama terjangkit
flu burung. Contoh lainnya
adalah region pemilihan dalam pemilihan umum.
Penentuan suatu daerah pemilihan ditentukan
atas
dasar kepentingan kemudahan koordinasi dan manajemen pemilu. Setelah pemilu selesai regionalisasi tersebut selesai. Hanya saja regioanlisasi secara adhoc ini
tidak
selamanya bersifat sementara seperti dalam contoh penentuan
daerah pemilu, tetapi dapat bersifat tetap
meskipun aspek yang menjadi dasar regionalisasi hanya bersifat relative.
5. Nodal
Suatu
wilayah/region dapat diidentifikasi
sebagai suatu satuan
wilayah yang terbentuk karena adanya jaringan interaksi antar pusat- pusat kegiatan, dalam hal
produksi, distribusi, dan pelayanan. Dalam konsep geografi, nodal biasa digunakan untuk menggambarkan system
kota-kota
atau system
pusat-pusat
permukiman.
Dalam system ini,
pusat-pusat kegiatan
mempunyai hierarkhi,
orde, atau
eselon (Son Diamar dalam Jacub Rais, 2004).
Berdasarkan konsepsi wilayah nodal tersebut,
maka dapat saja terjadi suatu
region
nodal mencakup sua atau lebih daerah
kabupaten/propinsi, misalnya salah
satu
propinsi
ditentukan sebagai
orde I, sedangkan dua propinsi lainnya menjadi
sub-ordinatnya,
yakni
pusat orde
II.
6. Metropolitan
Metro
(mater, mather, induk), jadi suatu
wilayah dapat diidentifikasi
sebagai wilayah metropolitan berdasarkan adanya satuan wilayah
perkotaan yang terdiri dari satu atau lebih kota induk beserta beberapa
kota
satelit
di sekitarnya,
yang
saling berhubungan membentuk satu kesatuan social, ekonomi, dan ekologi perkotaan. Contoh wilayah
metropolitan adalah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi), Surabaya
Raya
yang
dikenal
dengan sebutan Gerbang Kertosusilo (Gersik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, sidoarjo, dan
Lamongan
7. Pengelolaan
Satuan wilayah ini ditentukan berdasarkan suatu hukum, seperti undang-undang
atau
lainnya, menjadi yurisdiksi, dan atau wilayah “kewenangan”
dan
tanggung jawab pengelolaan, untuk mencapai tujuan
tertentu. Contohnya adalah wilayah administratif pemerintah daerah (pemda), wilayah otorita, daerah khusus, dan lain-lain.
8. Dasar lainnya
Regionalisasi atau pewilayahan yang merupakan
paradigm baru
diperkenalkan oleh the Habibie Center, Departemen
kelautan dan
Perikanan, dan Dewan Maritim Indonesia, yakni
paradigma wilayah benua maritime. Inti paradigm ini memandang
wilayah Negara
kepualauan sebagai satu benua,
karena dilihat dari sejarah geologinya
berjuta
tahun sebelum
es mencair menjadi laut, pulau-pulau tersebut merupakan satu benua yang tidak terpisah-pisah (gondwana). Karena
pulau-pulau saat ini telah terpisah, maka penyatunya
adalah dasar laut, sehingga menjadi benua
dasar laut yang harus dikelola secara terpadu. Tetapi karena luasnya benua laut ini, maka wilayah benua maritime Indonesia dibagi menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil yang
dinamakan wilayah kemaritiman.
Dalam wilayah
kemaritiman
terdapat berbagai
wilayah seperti
DAS,
wilayah homogin, wilayah nodal, mungkin
beberapa wilayah
metropolitan, yang berinteraksi melalui laut. Dengan paradigm ini, maka laut bukan sebagai pemisah, tetapi
laut
sebagai penyatu. Laut
mengintegrasikan antar wilayah darat (Son Diamar dalam Jakub Rais,
2004).
B. Geografi Regional
Geografi Regional merupakan deskripsi yang komprehensif-integratif
aspek fisik dengan aspek manusia
dalam
relasi keruangannya di suatu
wilayah. Geografi Regional adalah suatu
bagian atau keseluruhan bagian yang
didasarkan atas aspek
keseluruhan
suatu wilayah. Dapat pula
dikatakan bahwa Geografi Regional sebagai suatu studi tentang
variasi penyebaran gejala dalam ruang pada suatu wilayah teretentu,
baik local, negara, maupun continental. Pada Geografi Regional, seluruh aspek dan
gejala geografi ditinjau dan dideskripsikan secara
bertautan dalam hubungan integrasi,
interelasi
keruangannya.
Melalui
interpretasi dan analisa geografis regional ini, karakteristik suatu wilayah yang khas dapat ditonjolkan, sehingga perbedaan antar wilayah menjadi
kelihatan jelas
(Sumaatmadja, 1988).
Hal yang di
bahas di
dalam
geografi
regional
sangat
luas, karena
seluruh aspek fisiografis dan manusia yang saling berinterelasi, interaksi, dan interdependensi serta persebarannya menjadi perhatiannya. Aspek fisik misalnya bentuk
lahan,
jenis batuan/tanah, iklim, struktur geologi, dan
lain-lain yang berkaitan dengan aspek manusia
yang berada di atas atau di sekitarnya, kaitan persebaran sumber
daya alam dengan karakteristik penduduk, sistem mata pencaharian, serta aspek-aspek sosial lainnya.
Berdasarkan
struktur
keilmuan geografi, maka geografi
regional
bukanlah salah satu cabang dari geografi manusia ataupun geografi fisik. Tetapi geografi
regional
merupakan bagian
dari geografi yang
bertugas
untuk menjelaskan secara komprehensif segala keterkaitan (asosiasi, relasi,
interelasi, interakasi, inter- dependensi)
unsur fisik dan manusia yang ada pada suatu region tertentu pada waktu tertentu.
Asosiasi dan korelasi gejala
geografi di permukaan bumi secara dinamik, tidak hanya meliputi proses
keruangannya saja, melainkan
pula
meliputi kronologi berdasarkan urutan waktunya. Dengan demikian, dalam melakukan
pendekatan dan analisa berdasarkan kerangka kerja geografi regional tidak hanya memperhatikan faktor ruang, melainkan juga harus memperhatikan waktu sebagai
faktor historiknya.
Melalui pendekatan
historic seorang ahli geografi akan dapat
memperhitungkan atau melakukan pendugaan terhadap kemungkinan perubahan suatu gejala di dalam region. Kompetensi yang
diharapkan dari pembelajaran geografi regional ialah kemampuan mendeskripsikan wilayah
(regional discription), pendugaan wilayah (regional
forecasting), analisis dan sintesis
wilayah dan melakukan evaluasi wilayah (regional evaluation) dengan pendekatan
keruangan, ekologi, dan kompleks wilayah.
Hal
yang biasanya terjadi, kompetensi
yang dicapai hanya sampai pada
mendeskripsikan
wilayah, sehingga materi
geografi regional terkesan berupa kumpulan diskripsi wilayah yang kering
dari makna.
C. Geografi Regional Indonesia
Berdasarkan pengertian Geografi Regional di atas, dapat dinyatakan bahwa Indonesia merupakan suatu
region. Nama “Indonesia” untuk
kepulauan nusantara pertama kali diperkenalkan oleh JR. Logan pada tahun
1850. Indonesia sebagai bagian dari wilayah di permukaan bumi dianggap sebagi suatu region berdasarkan kenyataan bahwa antar bagian wialayah
Indonesia mempunyai
kesamaan-kesamaan tertentu, misalnya keamaan
iklim, keamaan letak, kesamaan bahasa dan ideology, kesamaan budaya, dan yang paling penting
secara hukum antar bagian wilayah Indonesia
merupakan satu kesatuan hukum Negara yang berasal dari wilayah bekas
jajahan Hindia Belanda ditambah dua daerah istimewa, Derah Istimewa Yogyakarta (DIY)
dan Nangroe Aceh
Darussalam
(NAD). Bila dianalisis lebih
lanjut menurut kriteria/konsep ideal sebuah region,
wilayah Indonesia bukanlah satu region, tetapi menjadi
beberapa region, kecuali apabila kriteria pengklasifikasian region itu dibuat secara makro, misalnya
kriteria
region berdasarkan iklim
matahari,
yang membagi dunia menjadi iklim tropik (0 - 23,50 LU/LS), subtropik (23,50LU/LS - 66,50 LU/LS), dan iklim
polar (66,50 LU/LS - 900 LU/LS), maka seluruh bagian wilayah Indonesia
dapat dinyatakan sebagai suatu region iklim tropic.
Bentuk-bentuk
wilayah negara dilihat dari fisiografisnya terdiri dari bentuk kompak (contigous shape) dan tidak kompak (non-contigous shape).
Bentuk kompak
terdiri
dari bentuk
membulat
dan memanjang (sejajar
pantai dan tegak lurus pantai). Bentuk tidak kompak, terdiri
dari bentuk
fragmental (kepulauan),
terpecah (broken shape), tersebar (scattered
shape),
dan
lingkar laut (sircum marine). Region Indonesia merupakan
kepulauan
(archipelagic state), yang berarti region ini berbentuk tidak kompak (non-
contigues shape), tetapi terpisah-pisah oleh perairan.
Meski demikian perairan tersebut dalam konsep negara kesatuan tidak menjadi batas
pemisah antar wilayah/pulau karena
adanya kesamaan/keseragaman tertentu. Sebagai sebuah region yang luas (lebih dari 5 juta km2, dengan luas daratan ± 2.206.833
km2),
Indonesia harus
mempunyai
batas-batas wilayah yang jelas dan dapat membedakan
dengan wilayah lain. Batas
wilayah diperlukan untuk
keperluan pengelolaan, pengawasan dan perlindungan negara.
1. Batas Politik
Batas wilayah Republik Indonesia mengalami beberapa kali perubahan secara politik dilandasi oleh :
a. Kesepakatan 1824 antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris.
Kedua Negara imperialis yang menguasai wilayah-wilayah jajahan di banyak Negara ini memerlukan batas penguasaan agar tidak terjadi
konflik diantara mereka
sendiri. Di wilayah yang kemudian disebut
Asia Tenggara menjelang Perang Dunia II ini, dahulu berkuasa beberapa Negara imperalis, seperti Inggris, Belanda, Portugis. Untuk keperluan pengaturan kekuasaan dalam rangka eksploitasi kekayaan
alam dan penduduk negeri
jajahan Belanda dan Inggris membuat kesepakatan batas wilayah jajahan, yakni Indonesia (Hindia Belanda)
di
bawah kekuasaan Belanda, sementara Malaysia, Singapura dan Filipina menjadi wilayah jajahan Inggris, dengan menggunakan Thailand sebagai
negeri pembatas (bufferstate).
b. Keputusan Pengadilan tetap International tahun
1928
c. Ordonansi 1939 (Territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie) Ordonansi ini membagi wilayah laut Indonesia menjadi Laut Teritorial
dan Laut Pedalaman. Saat
itu,
laut territorial
dinyatakan sebagai
wilayah perairan yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil
laut
dari garis surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau, termasuk
karang-karang dan gosong-gosong yang ada di atas permukaan laut
pada waktu air surut.
Sedangkan perairan pedalaman terdiri dari semua perairan yang terletak pada bagian isi darat dari laut territorial,
termasuk
sungai-sungai,
terusan-terusan, danau-danau,
dan rawa- rawa. Di luar wilayah perairan
tersebut merupakan laut bebas, yang
terdapat
diantara
pulau-pulau nusantara. Kondisi
ini
sebagaimana ditampilkan pada
gambar
3
seiring
dengan
perkembangan
waktu disadari
dapat menimbulkan kerawanan ekonomi, keamanan, dan
politik (Jacub Rais, dkk., 2004).
d. Deklarasi
Juanda 13
Desember
1957,
menyatakan bahwa
segala
perairan di sekitar, diantara, dan yang menghubungkan
pulau-pulau atau sebagian pulau-pulau yang termasuk daratan Republik Indonesia, dengan
tidak
memandang luas atau
lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia,
dan dengan demikian merupakan
bagian daripada perairan pedalaman atau perairan nasional
yang berada di bawah kedaulatan mutlak
Negara Republik
Indonesia, lalu lintas
yang
damai
di
perairan
pedalaman ini
bagi kapal-kapal
asing terjamin
selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Negara
Indonesia. Penentuan batas
laut 12
mil
yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada
pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan
undang-undang. Atas dasar Deklarasi Juanda, selanjutnya ditetapkan
UU
No.4 Prp 60 tentang
perairan Indonesia, yang intinya menyatakan:
1) Kepulauan dan
perairan Indoesia
menjadi satu kesatuan,
sedangkan laut yangmenghubungkan pulau demi pulau
merupakan bagian
tak
terpisahkan dari daratannya.
2) Lebar laut wilayah
dinyatakan 12 mil
laut diukur mulai garis pangkal menuju keluar
3) Di perairan pedalaman dijamin hak lintas damai bagi kendaraan
air asing yang diatur oleh peraturan tersendiri.
e. Undang-undang nomor 7 tahun 1976 tentang pengesahan penyatuan Timor Timur ke NKRI dan pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I
Timor Timur,
sebagai tindak lanjut pelaksanaan perjanjian New York pada 5 Mei 1999, serta TAP MPR No VI/1978 tentang penyatuan
Timor Timur. Luas
wilayah
Indonesia
berkurang karena
lepasnya
Timor Timur
berdasarkan Ketetapan MPR RI yakni Tap No. V/MPR/1999
yang mengakui hasil jajak pendapat di Timor Timur dimana mayoritas
rakyat Timor Timur, sekitar 78,5%, menolak
tawaran otonomi khusus. Dasar keluarnya ketetapan
ini adalah demi
menghargai hak asasi warga Timor Timur
yang telah menunjukkan kemauan
mereka melepaskan diri dari Indonesia melalui jajak
pendapat tersebut.
Gambar 3. Ilustrasi wilayah NKRI menurut Ordonansi 1939 (Sumber:
Bakosurtanal 2002
f. Konvensi Hukum Laut International Tahun 1982
Pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS-United Nations
Convention on the Law of the Sea) III yang diselenggarakan pada 30
April 1982 di New York, Indinesia berhasil meyakinkan dunia
Internasional mengenai
bentuk Negara
kepulauan. Menurut
Konvensi tersebut, dengan pengakuan sebagai Negara kepulauan wilayah lautan Indonesia mencakup
75%
dan daratannya 25%
termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, dimana batas region RI terdiri
dari 3 jenis batas laut, yakni
:
1). Batas laut teritorial
Adalah batas laut yang ditarik
dari sebuah garis dasar, dengan jarak 12 mil keluar kearah laut bebas (lihat gambar
2). Garis dasar yang dimaksud adalah garis khayal yang menghubungkan
titik=titik dari ujung-ujung
pulau terluar. Jarak titik yang satu dengan titik yang lain (terjauh)
yang
boleh dihubungkan dengan garis dasar tidak melebihi 200 mil (1 mil=1609 m). Oleh karena itu, antara P. Chritsmas (wilayah Australia) yang terletak di sebelah selatan P. Jawa, tidak boleh menjadi
dasar untuk menentukan batas
laut territorial dengan
cara menarik
garis
dasar dengan
titik manapun di pantai Australia
ke P. Chritsmas
(karena jarak
dari pantai utara Australia dengan P. Chritsmas lebih dari 200 mil). Sementara
batas laut territorial di sebelah timur
Kalimantan
Timur (tepatnya
di sebelah timur
Pulau
Sebatik) masih dalam
penyelesaian.
Laut yang terletak pada bagian dalam garis dasar disebut laut
pedalaman. Suatu
negara memiliki hak kedaulatan sepenuhnya sampai batas Laut territorial, meski demikian suatu
negara harus menyediakan
jalur pelayaran
untuk lalu lintas damai, baik di atas
permukaan maupun di bawah permukaan air laut.
2).
Batas landas kontinen
Landas kontinen
(continental shelf) semula merupakan
konsep dalam
geologi. Secara geologis suatu bagian lahan
daratan pantai akan menurun dari
kemiringan kecil sampai
ke bawah laut
tertentu menurun secara terjal ke dasar laut. Bagian lahan dasar
laut
dengan
kemiringan
kecil tersebut dinamakan landas kontinen (lihat gambar 4). Dasar lautan yang dari segi geologi maupun morfologi merupakan kelanjutan dari kontinen atau benuanya.
Lautan yang ada di
atasnya
adalah laut
dangkal,
dengan kedalaman kurang dari 150 meter (Dalam hal
ini
Indonesia terletak diantara dua landas kontinen, yakni yakni
landas kontinen Asia dan Australia. Kewenangan dan hak sebuah Negara dalam wilayah landas kontinen adalah dalam memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di dalam
dan di bawah wilayah landas koninen, tetapi dengan syarat tidak mengganggu lalu lintas pelayaran damai.
Jarak batas landas kontinen
dari garis dasar tidak tentu jaraknya, tetapi maksimal 200 mil. Kalau ada dua negara atau
lebih menguasai
lautan di atas landas kontinen, batas antar
negara-negara tersebut ditarik sama jaraknya dari garis dasar
masing-masing. Misalnya antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura terjadi
penguasaan wilayah laut yang berada pada landas kontinen yang sama, maka antar Negara-negara tersebut perlu
ada kesepakatan mengenai batas
lautnya.
Batas landas kontinen antara wilayah Republik Indonesia
dan Malaysia di Selat Malaka sebelah
selatan, selain ditarik di tengah-tengah antara Malaysia dan Republik Indonesia juga
berhimpit dengan batas Laut Territorial kedua negara. Batas landas kontinen RI-Malaysia-Muangthai
di
Selat Malaka sebelah utara bertemu dengan koordinat 980BT
dan 60 LU.
Permasalahan batas landas
kontinen pertama kali
diajukan
oleh AS pada konvensi hukum laut international I
tahun 1958,
mengingat banyaknya
kekayaan
pada wilayah ini. Penentuan
batas landas kontinen Negara-negera
pantai ini
oleh
PBB
diberikan kesempatan
hingga tahun 2009. Dalam
penentuan
batas landas kontinen negera pantai diberi
kesempatan untuk menambah di
luar
200 mil laut hingga mencapai 350 mil laut.
Gambar 4. Landas kontinen
3).
Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Menurut UNCLOS
1982 pasal 55
dan 56
ayat
1a, Zone
ekonomi ekslusif
(ZEE) suatu daerah di luar dan berdampingan dengan
laut territorial, ditentukan dengan cara
menarik jarak tidak lebih
dari 200 mil dari garis dasar
ke arah laut bebas.
Kewenangan suatu Negara pada ZEE adalah hak berdaulat untuk mengeksplorasi
dan
eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya alam, baik di laut maupun di bawah dasar laut dan
tanah
di bawahnya,
baik
hayati maupun non-hayati dengan
kewajiban menghormati lalu lintas pelayaran damai.
ZEE hanya dimiliki oleh Negara kepulauan (arphilagic state),
oleh karena itu
ketika terjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia, khususnya dalam mengklaim
blok
Ambalat posisi Indonesia sebenarnya sangat kuat karena Blok Ambalat berjarak kurang lebih 70 mil dari Pulau Sipadan dan Ligitan (yang telah
berhasil diklaim Malaysia
sebagai bagian dari wilayahnya).
Padahal hanya Negara kepulauan saja yang boleh menarik
garis sepanjang itu.
Seperti
diketahui bahwa Malaysia merupakan bukan Negara kepulauan tetapi negara kontinen, sehingga tidak berhak untuk menarik
garis ke arah blok Ambalat.
g. Undang-undang No. 4 Prp 1960 tentang perairan Indonesia, yang secara garis
besar
menyatakan bahwa:
1)
Kepulauan dan perairan Indonesia menjadi
satu kesatuan, sedangkan laut yang menghubungkan
pulau demi pulau
merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari daratnya, untuk itu ditarik garis pangkal lurus yang menghubungkan
titik- titik terluar atau bagian pulau-pulau terluar
dalam wilayah Indonesia. Perairan pada sisi dalam garis-garis
pangkal/dasar
tersebut disebut perairan
pedalaman.
2) Lebar laut wilayah dinyatakan
12 mil laut diukur mulau dari garis pangkal tersebut menuju ke luar.
3) Kedaultan Negara Republik Indonesia mencakup perairan
Indonesia, ruang
udara di atasnya, dasar laut
dan
tanah di bawahnya, beserta sumber-sumber kekayaan yang terkandung di
dalamnya.
4) Di perairan pedalaman dijamin hak lalu lintas damai bagi kendaraan air nasing yang pengaturannya
ditentukan tersendiri.
h. Undang-undang
No. 17
Tahun 1985, mengamanahkan perlunya
penanganan secara serius penataan batas-batas maritim
dengan
negara-negara tetangga.
Di laut Indonesia terdapat perbatasan dengan 10 negara, yakni India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina,
Palau, Papua Nugini, dan Timor Leste. Batas-batas maritim yang harus diselesaikan adalah batas laut territorial, Zona Tambahan (sampai 12 mil laut diukur dari batas laut territorial atau
24 mil laut diukur dari garis pangkal). Indonesia
memiliki
kewenangan mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukai, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi,
dan menjamin pelaksanaan hukum di
wilayahnya
(Jalal,
2003).
2. Batas Fisik
Batas
wilayah Indonesia dengan wilayah
negara lain
berupa daratan dan perairan (laut, selat, lautan bebas). Batas berupa
daratan misalnya di Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini dan di
Kalimantan dengan Malaysia Timur. Perbatasan tersebut
hanya berupa patok dan tugu, yang seungguhnya sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya penyusupan-penyusupan dari negara lain, misalnya perbatasan
Indonesia – Papua Nugini
yang berupa garis perbatasan sepanjang kurang
lebih 900 km
baru ditandai dengan
patok-patok sebanyak 24
buah.
Bahkan di Kalimantan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia belum
jelas keadaannya
di lapangan, oleh
karena
itu perlu
dilakukan pengukuran. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan
dan
dalam rangka melindungi
masyarakat, maka didirikan beberapa pos perbatasan.
Misalnya pos pengawas
perbatasan di Longbawang Kalimantan Timur, Pos
Pengawas lintas batas di Entekong Kalimantan Barat, pos lintas batas di Pulau serasan
(Riau Kepulauan dekat Kalimantan Barat).
Batas fisik region Indonesia yang berupa perairan adalah
Samudera Hindia di sebelah selatan berbatasan dengan laut bebas dan Pulau Chritsmas (Australia). Batas berupa laut juga terdapat di Selat
Malaka antara Indonesia-Malaysia-Muangthai (sebagaimana di bahas
dalam batas landas kontinen). Hal penting
yang
perlu diperhatikan dalam
hal batas ini adalah pemberian tanda dan pengawasan yang cukup dari
suatu negera, dimana pengawasan ini dapat pula didukung oleh rakyat.
Tanpa
pengawasan dan batas
yang memadai maka batas
ini akan menjadi
tidak bermakna. Apalagi
region Indonesia yang banyak berbatasan dengan
negera lain ditambah pula dengan garis pantai yang panjang, sehingga kemungkinan terjadi penyusupan/inflitrasi sangat besar.
No comments:
Post a Comment