BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagaimana telah diketahui bahwa bank adalah
lembaga interediasi keuangan. umumnya didirikan dengan kewenangan untuk
menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan menerbitkan surat berharga.
Peranan bank saat ini sangat dominan dalam perekonomian masyarakat Indonesia
pada umumnya. Hampir setiap kegiatan perekonomian masyarakat tidak terlepas
dari peran bank maupun lembaga keuangan lainnya. dalam menjalankan
aktifitasnya, bank menawarkan berbagai produkyang berisi kegiatan pendukung
perekonomian masyarakat. Perlunya peranan pemerintah untuk meratakan fasilitas
atau kemudahan yang ditawarkan oleh bank ke pelosok sehingga dapay menjangkau
seluruh masyarakat Indonesia. Maka diperlukan adanya bank perkreditan rakyat
yang mampu menjangkau ke desa-desa yang ada di seluruh Indonesia. Selain itu
dalam syariat islam penerapan sistem bunga yang diberlakukan oleh bank
konvensioanl ini dilaramg atau dharamkan, maka diperlukan adanya Bank Syariah
yang menerapkan syariat islam dalam sistem operasionalnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian BPR?
2. Apa
jenis-jenis BPR ?
3. Usaha
atau kegiatan apa yang dilakukan oleh BPR ?
4. Produk
apa yang dikeluarkan oleh BPR ?
5. Apa
pengertian dari bank syariah ?
6. Usaha
atau kegiatan apa yang dilakukan oleh bank syariah ?
7. Produk
apa yang dihasilkan atau dikeluarkan oleh bank syariah ?
8. Apa
perbedaan antara sistem bunga konvensional dengan sistem bagi hasil bank
syariah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian,jenis,kegiatan dan produk yang dikeluarkan oleh BPR
2. Mengetahui
pengertian,jenis,kegiatan dan produk yang dikeluarkan oleh Bank Syariah
3. Mengetahui
perbedaan antara sistem bunga konvensional dengan sistem bagi hasil bank
syariah
BAB II
PEMABAHASAN
BANK PERKREDITAN RAKYAT
Pendirian
BPR ini dimulai pada abad ke-19 di mana pada saat itu sumber untuk memperoleh
penjaman, terutama di wilayah pedesaan, hanya berasalh dari para pelepas uang
(rentenir) dengan bunga mencapai antara 100% - 200% pertahun. Melihat kondisi
masyrakat pedesaan saat itu, muncul beberapa gagasan yang menghendaki
diadakanyya lembaga pengkreditan bagi masyrakat Indonesia dengan bunga yang
ringan guna meningkatkan atau mencegah kemrosotan lebih lanjut dari
kesejahteraan para petani, di samping untuk meningkatkan daya tahan mereka
terhadap bencana-bencana yang mungkin terjadi. Gagasan untuk mendirikan Lembaga
Pengkreditan Rakyat (LPR) di Indonesia tersebut muncul pada akhir abad 19 atas
prakarsa perorangan yang kemudian di ambil alih oleh pemerintah Belanda.
Landasan
hukum pendirian dan beroperasinya Bank Pengkreditan Rakyat adalah Undang-Undang
No. 7 tahun 1992tentang Perbankan sebagaimana telah diuabh dengan Undang-Undang
No. 10 tahun 1998. Keberadaan BPR dalam masyarakat Indonesia sudah ada jauh
sebelumdiundang-undangkannya Undang-Undang N0. 14 tahun 1967 yang kemudian
diganti dengan UU No. 7 tahun 1992
A. LEMBAGA
DANA DAN KREDIT PEDESAAN
Tujuan pengembangan
Lembaga Perkreditan Rakyat adalah menyediakan berbagai kemudahan dalam
mendapatkan sumber permodalan bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah,
terutama di pedesaan guna mengembangkan usaha dan kemampuannya. Jasa-jasa
perbankan yang diberikan antara lain kredit bagi pedagang/pengusaha kecil di
pasar-pasar dan di desa-desa, serta mobilisasi dana masyarakat dalam bentuk
tabungan dan deposito berjangka. Pengawasan dan pembinaan kegiatan usaha
lebaga-lebaga ini dilakukan oleh Bank Indonesia, namun tugas pengawasan
tersebut di delegasikan kepada Bank Rakyat Indonesia yang kantornya tersebar di
berbagai daerah.
B. FUNGSI
BANK PENGKREDITAN RAKYAT
Keberadaan Bank Pengkrditan Rakyat dari sisi
kepentingan pemerintah antara lain:
1.
memberi pelayanan perbankan kepada
masyarakat yang sulit atau tidak mimiliki akses ke bank umum
2.
membantu pemerintah mendidik masyarakat
dalam memahami pola nasional agar akselerasi pembangunan di sektor pedesaan
dapatlebih dipercepat
3.
menciptakan pemerataan kesempatan
berusaha terutama bagi masyarakat pedesaan
4.
mendidik dan mempercepat pemahan
masyarakat terhadap pemanfaatan lembaga keuangan formal sehingga terhindar dari
jeratan terakhir
C. BANK
PENGKREDITAN RAKYAT PASCAUUNO. 7 TAHUN 1992
Lahirnya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah dibah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998,
antara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa telah terjadi perkembangan dalam
perekonomian nasional dan semakin gencarnya tantangan dalam persaingan
internasional sehingga perbankan nasional harus benar-benar disiapkan untuk
menghadapi situasi lingkungan persaingan global. Dengan adanya undang-undang
perbankan ini, pemerintah dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menata
kembali struktur kelembagaan sektor perbankan dengan memberikan keleluasaan
dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi.
b. Memberi
kesempatan kepada sektor perbankan untuk memperluas jangkauan pelyanannya baik
pelayanan perbankan umum yang menjangkau semua lapisan masyarakat maupun
pelayanan perbankan yang berkonsentrasi pada sektor ekonomi berskala kecil atau
usaha lemah terutama diwilayah pedesaan.
c. Memperkuat
landasan hukum terhadap pengaturan, pengawasan dan pembinaan perbankan.
Atas pertimbangan tersebut diatas, maka dalam UU No.
7 tahumn 1992 dilakukan penyederhanaan sistem perbankan dengan melakukan
penggolongan bank kedalam dua jenis saja, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat. Pengaturan operasional BPR lebih lanjut ditetapkan dalam peraturan Bank
Indonesia No.6/22/PBI/2004 tanggal 9 Agustus 2004 tentang Bank Perkreditan
Rakyat.
D. PENGERTIAN
BPR
Berdasarkan Undang-undang No.7 tahun 1992, Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sementara bank menurut
undang-undang ini adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
E. BENTUK
HUKUM DAN KLASIFIKASI BPR
Pendirian BPR dapat dilakukan dengan memilih bentuk
hukum sebagai berikut :
a. Perusahaan
Daerah
b. Koperasi
c. Perseroan
Terbatas
d. Bentuk
lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
“Bentuk lain”
sebagaimana disebutkan pada butir d diatas berdasarkan penjelasan Pasal 21 ayat
(2) UU No. 7 tahun 1992, dimaksudkan untuk memberikan wadah bagi
penyelenggaraan lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR, seperti Bank Desa,
Lambung Desa, Badan Kredit Desa dan lembaga-lembaga lainnya yang dimaksud dalam
Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1992. Dengan demikian pengertian Bentuk Hukum BPR
dengan “Bentuk lain” diperuntukkan bagi lembaga-lembaga yang telah memperoleh
izin usaha dari Menteri Keuangan, yang telah dikukuhkan sebagai BPR yang bentuk
hukumnya bukan berupa salah satu dari Perusahaan Daerah, Koperasi atau
Perseroan Terbatas. Sedangkan bagi lembaga lainnya BKK,LPN,KURK,LPK yang belum
memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan, maka sesuai dengan ketentuan pasal
19 PP No.71/1992 wajib menhajukan permohonan izin usaha sebagai BPR sampai
tanggal 30 Oktober 1997 dengan memilih salah satu bentuk hukum berupa
Perusahaan Daerah, Koprasi, atau Prseroan Terbatas.
Seiring dengan
berkembangnya perekonomian, Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) ikut pula
mengalami pertumbuhan terutama dilingkungan masyarakat pedesaan. Keberadaan
lembaga keuangan mikro ini dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan mereka, khususnya dalam bentuk jasa tabungan dan sumber
kredit. Oleh karena itu lembaga ini perlu diperahankan eksistensinya di dalam
masyarakat desa. Sehubungan dengan itu, untuk memperjelas status LDKP tersebut,
berdasarkan Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1992, kberadaan LDKP yang terdiri dari :
a. Bank
Desa Lumbung Desa
b. Bank
Pasar
c. Bank
Pegawai
d. Lumbung
Pitih Nagari (LPN)
e. Lembaga
Perkreditan Desa (LPD)
f. Badan
Kredit Desa (BKD)
g. Badan
Kredit Kecamatan (BKK)
h. Kredit
Usaha Rakyat Kecil (KURK)
i.
Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK)
j.
Bank Karya Produksi Desa (BKPD)
dan
atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status
sebagai Bank Perkreditan Rakyat dengan memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat
ditetapkan bahwa LDKP yang belum mendapat izin usaha sebagai BPR dari Menteri
Keuangan wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai BPR selambat-lambatnya
tanggal 30 Oktober 1997 dengan prsyaratan sebagai berikut :
a. Memilih
salah satu bentuk hukum berupa Perusahaan Daerah, Koprasi, atau Perseroan Terbatas.
b. Memenuhi
Kebutuhan Bersama Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bank
Indonesia tanggal 26 September 1994 mengenai ketentuan modal minimum sebesar
Rp. 50 juta; kualifikasi direksi yang berpengalaman di bidang perbankan;
memiliki tempat/gedung dan kewajiban membuka kantor setiap hari.
Kemudian sete;ah
dikeluarkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, BPR dapat diklasifikasikan menjadi
BPR Badan Kredit Desa dan BPR Bukan Badan Kredit Desa sebagaimana pada Tabel .
Bank Perkreditan
Rakyat
a. BPR
Bukan Badan Kredit Desa
|
Jumlah
|
·
BPR baru
|
1.312
|
·
Bank Pasar
|
132
|
·
BKPD
|
133
|
·
Bank Pegawai
|
1
|
·
BPR Eks LDKP
|
564
|
|
|
b. BPR
Badan Kredit Desa
|
|
·
Bank Desa
|
3.289
|
·
Lumbung Desa
|
2.056
|
c. LDKP
|
1.620
|
Sumber : Bank Indonesia Statisyik
Ekonomi Keuangan Indonesia, per Desember 2003.
F. PENDIRIAN
DAN MODAL DISETOR BPR
Sebagai konsekuensi dikeluarkannya UU No. 10 Tahun
1998, semua proses perizinan dibidang perbankan trmasuk BPR, yang sebelumnya
dilakukan oleh Menteri Keuangan dialihkan kepada Bank Indonesia. Dengan
demikian setelah undang-undang ini dikeluarkan, maka semua pengaturan dibidang
perbankan, termasuk perizinan, dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan
peraturan Bank Indonesia No.6/22/PBI/2004 Tahun 2004 tentang BPR, Bank
Perkredita Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh :
a. Warga
Negara Indonesia
b. Badan
hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya berstatus WNI
c. Pemerintah
Daerah
d. Dua
pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b, dan huruf c.
Ketentuan
modal disetor untuk mendirikan BPR ditetapkan paling sedikit sebesar
a. Rp.
5 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah DKI Jakarta
b. Rp.
2 miliar bagi BPR yang didirikan di wilayah ibukota provinsi di Pulau Jawa, dan
Bali serta diwilayah kabupaten atau kodya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
c. Rp.
1 miliar bagi BPR yang didirikan diwilayah ibukota provinsi diluar Pulau Jawa
dan Bali dan wilayah sebagaimana disebut dalam butir a dan b.
d. Rp.
500 juta bagi BPR yang didirikan di wilayah lain diluar wilayah sebagaimana
disebut dalam butir a,b, dan c.
Sementara itu, modal
disetor bagi BPR yang berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok,
simpanan wajib, dan hibah sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
perkoperasian paling sedikit 50% dari modal disetor BPR wajib digunakan untuk
modal kerja.
Salah satu pertimbangan
dalam pemberian izin BPR oleh BI adalah hasil analisis atas potensi dan
kelayakan pendirian BPR yang harus disampaikan sebagai salah satu persyaratan,
yang meliputi penilaian terhadap :
a.
Aspek demografi dan ekonomi wilayah
b.
Jumlah dan pertumbuhan lembaga perbankan
termasuk lembaga keuangan mikro
c.
Rencana kegiatan usaha yang mencakup
sumber daba dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan
dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud
d.
Proyeksi keuangan secara bulanan untuk
tahun pertama, dan secara tahunan untuk dua tahun berikutnya, sejak BPR
melakukan kegiatan operasional dan
e.
Perencanaan sumber daya manusia.
G. ANGGOTA
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS BPR
Anggota direksi dan dewan komisaris wajib memenuhi
persyaratan :
a. Kompetensi
b. Integritas;
dan
c. Reputasi
keuangan
Pemenuhan persyaratan
bagi anggota direksi dan Dewan Komisaris di atas dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan (fi and proper test) BPR. Jumlah anggota Direksi minimal berjumlah 2
orang dengan pendidikan minimum D3
Anggota Direksi dilarang mempunyai
hubungan keluarga dengan :
a. Anggota
Direksi lainnya dalam hubungannya sebagai sebagai orang tua, anak, mertua,
menantu, suami, isteri, saudara kandung atau ipar; dan/atau
b. Anggota
Dewan Komisaris dalam hubungannya sebagai orang
tua,anak,mertua,menantu,suami,isteri,atau,atau saudara kandung.
Anggota
direksi dilarang merangkap jebatan sebagai Anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif
pada lembaga perbankan, perusahaan, atau lembaga lain.
Jumlah
anggota Dewan Komisaris minimal 2 orang dan minimal50% anggota Dewan Komisaris
memiliki pengalaman dibidng perbankan. Anggota Dewan Komisaris hanya dapat
merangkap jabatan sebagai komisaris paling banyak pada 2 BPR atau pada satu
Bank Umum.
H. PEMBUKAAN
KANTOR BPR
BPR
pada dasarnya dapat membuka kantor cabang dan kantor kas. BPR hanya dapat
membuka kantor cabang diwilayah provinsi yang sama dengan kantor pusatnya atas
izin Bank Indonesia.
Berdasarkan
ketentuan, wilayah DKI dan kabupaten atau kotamadya Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi dan Karawang ditetapkan sebagai satu wilayah provinsi untuk keperluan
pembukaan kantor cabang. Sebagai konsekuensi dari pentapan wilayah tersebut,
maka :
a. BPR di provinsi Jabar dan diluar Kabupaten atau
Kodya Bogor, Depok, Bekasi, dan Karawang.
b. BPR di Provinsi Banten diluar Kabupaten atau
Kodya Tangerang tidak dapat membuka kantor cabang di Kabupaten atau Kodya
Tangerang.
I. KEGIATAN
USAHA BPR
Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana halnya dengan
bank umum dapat melakukan usaha sebagai konvensional maupun bank berdasarkan
prinsip syariah. Kegiatan usaha yang diperkenankan bagi BPR secara umum adalah
sebagai berikut :
a. Menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. Memberikan
kredit
c. Menyedihkan
pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah
d. Menempatkan
dananya Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deosito, dan
atau tabungan bank lain.
Usaha
yang dilarang bagi BPR berdasarkan undang-undang adalah :
a. Menerim
simpanan erupa giro dan iut serta dalam lalu lintas pembayaran
b. Melakukan
kegiatan dalam usaha bentuk valuta asing
c. Melakukan
pnyertaan modal
d. Melakukan
usaha perasuransian
e. Melakukan
usaha lain diluar kegiatan yang telah ditetapkan di atas.
J. PENGATURAN
DAN PENGAWASAN
Dengan dikeluarkannya UU Perbankan No. 10 Tahun 1998
yang merupakan perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, fungsi perizinan,
pengaturan, dan pengawasa perankan dilakukan sepenuhnya oleh Bank Indonesia.
Sebelumnya, fungsi perizinan ini dilakukan oleh Departemen Keuangan. Sementara
itu, fungsi pengawasan dan pembinaan kegiatan operasional BPR yang sebelum
dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992, yang seharusnya diakukan leh Bank
Indonesia, diserahkan kepada Bank Rakyat Indonesia. Namun setelahnya
dikeluarkannya Undang-undang Perbankan tersebut, fungsi pengawasan dan
pembinaan diambil alih kembali oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter.
Pengawasan dan pembinaan yang sebelumnya dilakukan oleh BRI menimbulkan
ketidapuasan yang berkepanjangan dikalangan
BPR, mengingat BRI pada dasarnya merupakan kompetitor BPR terutama di
wilayah pedesaan di mana kantor-kantor BRI juga beroperasi. Fungsi ganda yang
diemban BRI tersebut yaitu di samping beroperasi sebagai bank umum yang
jaringan kantornya menjangkau hampir semua wilayah pedesaan di Indonesia juga
menjalankan fungsi supervisor terhadap BPR yang sudah barang tentu menimbulkan
kekhawatiran kalangan BPR akan kemungkinan timbulnya benturan kepentingan dalam
menjalankan fungsinya tersebut.
Pada
prinsipnya, ktentuan operasional perbankan syariah ditetapkan Bank Indonesia
untuk bank-bank umum juga berlaku bagi BPR, kecualiketentuan operasional yang
berdasakan peraturan tidak diperkenankan dilakukan oleh BPR, misalnya ketentuan
giro wajib minimum valuta asng dan posisi devisa neto.
BANK
SYARIAH
Kegiatan usaha
perbankan syariah pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi
masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak
didasarkan pada sistem bunga, melainkan atas dasar prinsip syariah sebagaimana
digariskan syariah (hukum) islam. Hal ini berkebalikan dengan prinsip Bank
Konvensional dimana imbalan selalu dihitung dalam bentuk bunga.
Pada dasarnya, produk
perbankan syariah bersifat universal, tidak hanya dikhususkan untuk suatu
kelompok masyarakat tertentu, meskipun prinsip operasi Bank Syariah ini
didasarkan pada syariah Islam yaitu hukum-hukum yang bersumber dari Al- Qur’an
dan Sunah Rasul
Maksud dari sistem yang
sesuai degan syariah islam adalah beroperasi mengikuti ketentuan-ketentuan
syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat misalnya dengan
menjauhi praktik-praktik yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan
kegiatan investasi atas dasar bagi hasil pembiayaan.
A. PERKEMBANGAN
SISTEM PERBANKAN SYARIAH
Sistem syariah dewasa
ini telah terintegrasi dan berinteraksi dengan sistem perekonomian dunia.
Sistem perbankan syariah tidak lagi hanya monopoli dan diklaim sebagai sistem
perbankan negara-negara Islam.
Oleh para pengamat,
sistem syariah ini diyakini akan mampu menjadi sistem alternatif yang mampu
mengembalikkan ekonomi Indonesia. Hal ini terbukti karena dalam waktu yang sama
pada saat Indonesia mengalami krisismoneter, bank-bank syariah tetap bertahan
dan usahanya tidak terlalu banyak terpengaruh oleh krisis moneter. Dewasa ini
produk-produk keuangan syariah lainnya sudah memasuki sektor perekonomian di
berbagai negara, antara lain produk pasar modal syariah (misalnya obligasi
syariah), rksa dana syariah, indeks syariah, dan di sektor industri asuransi
dikenal pula dengan asuransi berdasarkan prinsip syariah Islam.
Dalam upaya
pengembangan Bank Syariah dijumpai berbagai kendala antara lain dapat
disebutkan sebagai berikut :
1. Masih
minimnya pemahaman masyarakat terhadap jenis operasi dan produk-produk yang
ditawarkan oleh bank-bank syariah
2. Jumlah
dan jaringan kantor bank syariah yang masih terbatas sehingga menyulitkan
masyarakat mengakses pelayanan Bank Syariah
3. Kurangnya
sumber daya manusia memiliki pemahaman dan pengalaman teknik perbankan syariah.
Keberadanaan perbankan
syariah dapat dikatakan benar0benar muncul pada dekade 1990-an yang diawali
dengan disahkannya undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Setelah UU
No. 7 Tahun 1992 tersebut diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, penggunaan
istilah Prinsip Syariah dinyatakan jelas dalam beberapa pasal. Lebih lanjut,
ketentuan pelaksanaan operasional perbankan syariah diatur secara komprehensif
oleh Peraturan Bank Indonesia.
Gagasan atas adanya
sistem perbankan syariah ini pertama dikemukakan Majelis Ulama Indonesia di
awal tahun 1990 dalam Musyawarah Nasional ke IV. Selanjutnya, dengan inisiatif
beberapa pihak termasuk Persiden Soeharto saat itu, pendirian Bank Syariah
pertama, PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), diresmikann dengan modal disetro
berasal dari umat islam sebesar Rp 106 miliar. Kantot-kantor cabang BMI saat
ini tersebar ke beberapa ibukota provinsi di Jawa dan di luar Jawa.
Pelaksanaan kegiatan
perbankan syariah secara teknis juga diatur oleh Bank Indonesia melalui
beberapa peraturan, antara lain :
1. PBI
No.6/24/PBI/2004 tanggal 14 oktober 2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usahan Berasarkan Prinsip Syariah
2. PBI.
No.6/17/PBI/2004 tanggal 1 juli 2004 tentang Bank Pengkreditan Rakyat
berdasarkan Prinsip Syariah
3. PBI.
No.5/9/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif Bagi Bank Syariah
4. PBI.
No.5/3/PBI/2003 tanggal 4 februari 2003 tentang Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek Bagi Bank Syariah
5. PBI.
No.5/5/7//PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Kualitas Aktiva Produktif Bagi
Bank Syariah.
Perlu dipahami bahwa
sistem perbankan syariah ini bukanlan sistem perbankan Arab. Sistem perbankan
syariah inibersifat universal. Artinya, negara manapun dapat melakukan dan
mengadopsi sistem perbankan syariah dalam hal :
1. Penetapan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan dana
masyarakat yangdipercayakan kepadanya
2. Penetapan
imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan yang baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja.
3. Penetapan
imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh Bak
Syariah.
B. SISTEM
PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Sutau kebijakan
diharapkan dapat memperbaiki dan memperkokoh ketahanan perbankan nasional.
Kebijakan perbankan yang komprehensif, transparan dan mengandung kepastian
hukumtersebut di antaranya berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan
permodalan, kepengurusan, perluasan jaringan, serta perubahan kegiatan usaha
Bank Syariah. Artinya, Bank Indonesia antara lain tetap mempertimbangkan
fajtor-faktor kemampuan Bank Syariah, prinsip kehati-hatian operasional,
tingkat persaingan yang sehat, tingkat kejenuhan jumlah bank yang melakukan
kegiatan uasaha berdasarkan prinsip syariah, pemerataan pembangunan ekonomi
nasional, kelayakan rencana kerja, serta kemampuan dan atau kelayakan pemilik,
pengurus dan pejabat.
Agar Bank Syariah dapat
bersaing di dunia perbankan internasional,Bank Syariah harus memiliki
permodalan yang kuat. Selain itu Bank perlu didukung pula oleh pengurus, Dewan
Pengurus Syariah. Dan pejabat yang mampu dan kompeten untuk mengelola Bank
secara sehat.
C. PENGERTIANBANK
SYARIAH
Bank Syariah adalah
bank umum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang
saat ini telah diubah dengan UU No 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank
asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Sedangkan yang dimaksud
dengan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menurut Pasal 1angka 13
Undang-Undang No. 10 tahun 1998 adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam
antara pihak lain utnuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha.
Atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain:
1. Pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah)
2. Pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah)
3. Prinsip
jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah)
4. Pembiayaan
barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan (ijarah)
5. Dengan
adanyapilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain (ijarahwa iqtina)
D. BENTUK
HUKUM, PERMODALAN DAN KEPEMILIKAN
Berdasarkan
Uuperbankan, bentuk hukum Bank Syariah dapat berupa
1. Perseroan
Terbatas
2. Koperasi
3. Perusahaan
daerah
Modal disetor untuk
mendirikan Bank Syariah ditetapkan sekurag-kurangnya sebesar Rp.
3.000.000.000.000 (tiga triliun rupiah). Pendirian Bank Syariah hanya dapat
dilakukan oleh
1. Warga
negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia
2. Warga
negara Indonesia dan atau badan hukum indonesia dengan warga negara asing dan
atau badan hukum asing secara kemitraan.
Sedangkan kepemilikan
yang berasaldariwarga negara asing dan atau badan hukum asing
setinggi-tingginya sebesar 99% dari modal disetor Bank.
Semesntara kepemilikan
Bank oleh Badan Hukum Indonesia setinggi-tingginya adalah sebesar modalbersih
sendiri dari Badan Hukum yang bersangkutan. Dana yang digunakan dalam rangka
kepemilikan Bank dilarang bersumber dari :
1. Pinjaman
atau fasilitas pembiayaandalam bentuk apapun dari bank dan atau pihak lain
2. Sumber
yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk dari dan untuk tujuan
pencucian uang (money laundering)
Selanjutnya,bedasarkanketentuan
Bank Indonesia, yang dapat menjadi pemilik Bank adalah pihak-pihak yang:
1. Tidak
termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang menjadi pemegang saham aau
pengurus bank. Seduai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bsnk Indonesia.
2. Menurut
penilaian Bank Indonesia, yang bersangkutan memiliki integritas yang baik yaitu
antara lain adalah pihak-pihak yang :
·
Memiliki akhlak dan moral yang baik
·
Mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku
·
Memiliki komitmen yang tinggi terhadap
pengembangan Bank yang sehat
3. Pemegang
saham pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang bersangkutan bersedia
untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang dihadapi Bank dalam
menjalankan kegiatan usahanya.
Berdasarkan ketentuan
Bank indonesia, Bank yang telah mendapat izin beroperadi sebagai bank Syariah
dilarang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvesional dan dilarang
mengubah kegiatan usaha menjadi bank konvensional.
E. DEWAN
SYARIAH NASIONAL
Anggota DSN terdiri
dari para ulama, praktisi, dan pakar dalam bidang-bidang yang tekait dengan
perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI
untuk masa bakti 4 tahun. DSN adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama
Indonesia yang berugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkanfatwa tentang
produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah, serta
mengawasi fatwa yang dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di
Indonesia.
DSN juga mempunyai
kewenangan untuk :
1. Memberikan
atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebgai anggota Dewan
Pengawas Syariah (DPS) pada suatu lembaga keungan syariah, termasuk bank,
asuransi, dan reksa dana.
2. Mengeluarkan
fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan
menjadidasar tindakan hukum pihak terkait.
3. Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM
4. Memberikan
peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari
fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN
5. Mengusulkan
kepadapihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak
diindahkan.
Dewan Syariah Nasional
dibentuk tahun 1997 dan merupakanlembaga otonom dibawah Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang dipimpin oleh Ketua Umum MUI. Tugas-tigas Dewan Syariah Nasional
antara lain sebagai berikut :
1. Mengawasi
produk-produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam.
2. Menyusun
guidelines atau panduan produk
syariah yang bersumber dari hukum Islam yang dijadikan dasar pengawasan bagi
Dewan Pengawas Syariah lembaga-lembaga keuangan syariah.
3. Memberi
rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan menjadi Dewan Pengawas Syariah pada
suatu suatu lembaga keuangan syariah
4. Meneliti
dan memberi fatwa terhadap produk-produk yang dikembangkan lembaga keuangan syariah.
F. DEWAN
PENGAWAS SYARIAH
Dewan
Pengurus Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip
syariah, alam kegiatan Usaha Bank Syariah.
Jumlah
anggota DPS sekurang-kurangnya 2 orang dan sebanyak-banyaknya 5 orang. Anggota
DPS hanya dapat merangkap jabatan sebagaianggota DPS sebanyak-banyaknya pada 2
bank lain dan 2 lembaga keuangan syariah bukan bank. Anggota DPS juga bisa
merangkap sebagai DSN.
Anggota
DPS wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Integritas
2. Kompetensi
3. Reputasi
keuangan
Anggota
DPS juga harus memenuhi persyaratan integritas, antara lain:
1. Memiliki
akhlak dan moral yang baik
2. Memiliki
komitmen untuk memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku\
3. Memiliki
komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional Bank Syariah yang sehat
4. Tidak
termasuk dalam daftar tidak lulis sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bak Indonesia.
Anggota
DPS yang memenuhi persyaratan kompetensi, antara lain adalah memiliki
pengetahuan dan pengalaman dibidang syariah mu’amalah dan pengetahuan dibidang
perbankan dan atau keuangan secara umum.
Anggota
DPS yang harus memenuhi persyaratan reputasi keuangan antara lain :
1. Tidak
termasuk dalam kredit/pembiayaan macet
2. Tidak
pernah rdinyatakan pailit atau menjadi Direksi atau komisaris
3. Tidak
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam waktu
5 tahun terakhir sebelum dicalonkan.
Tugas, wewemang dan
tanggung jawab DPS antara\ lain
1. Memastikan
dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasinal bank terhadap fatwayang
dikeluarkan oleh DSN
2. Menilai
aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan Bank
3. Memberikan
opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secraa
keseluruhan dalam laporan publikasi Bank Syariah
4. Mengkaji
produk dan jasa baru yang belum adafatwa untu, dimintakan fatwa kepada DSN
5. Menyampaikan
alporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurang nya setiap ^ bulan
kepadaDireksi, komisaris, dewan Syariah Nasional, dan Bank Indonesia
G. PENGURUS
BANK SYARIAH
Bank
Syariah terdiri dari Direksi dan dewan Komisaris dan atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu.Di samping itu. Bank Syariah wajib membentuk dan
memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
berkeduaukan di kantor pusat bank. Anggota Direksi dan dewan Komisaris wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Tidak
termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang
menjadi pemegang saham dan atau pengurus bank sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia
b. Menurut
penilaian Bank lndonesia yang bersangkutan memiliki kompetensi dan integritas yang baik.
Anggota
Direki dan dewan Komisaris Bank Syaliah yang memiliki kompetensi dan integritas yang baik, antara lain adalah
pihak-pihak yang:
a) Memiliki
akhlak dan moral yang baik;
b) Mematuhi
peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c) Memiliki
komitmen yang tinggi dalam mengikuti fatwa Dewan Syariah Nasional;
d) .Memiliki
kemampuan dalam menjalankan tugas dan atau mengarvasi kegiatan usaha Bank
Syariah agar sesuai dengan prinsip syariah.
Mayoritas
anggota Direksi dilarang saling memiliki hubungan keluarga sarnpai derajat kedua termasuk besan dengan anggota dewan
Komisaris. Anggota Direksi
dilarang merangkap jabatan
sebagai anggota Direksi, dewan Komisaris, atau Pejabat Eksekutif pada bank
perusahaan atau lembaga lain yang memerlukan tanggung jawab penuh sebanyak-banyaknya pada 2 lembaga/perusahaan lain bukan bank.
Dewan Direksi dan Dewan Pengawas
Calon
anggota Direksi atau dewan Komisaris wajib memperoleh persetujuan dari Bank
lndonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya oleh rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota.Sebelum dimintakan persetujuan dari Bank Indonesia,
penetapan calon anggota Direksi atau dewan Komisaris wajib dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Bank
Syariah wajib mengajukan calon anggota Dewan Pengawas Syariah untuk memperoleh:
a) Persetujuan Bank Indonesia
b) Penetapan Dewan
syariah Nasional sebelum
diangkat dan mendudukijabatannya.
Pejabat Eksekutif
Pengangkatan
atau penggantian Pejabat Eksekutif atau pemimpin Kantor Cabang Syariah wajib dilaporkan oleh Bank Syariah kepada
Bank Indonesia selambat-larnbatnya I0 hari setelah tanggal pengangkatan efektif, disertai dengan:
a. Surat
pengangkatan dan pemberian kuasa sebagai Pejabat Eksekutifatau pemimpin Kantor Cabang dari Direksi Bank Syariah.
b. Dokumen
mengenai identitas Pejabat Eksekutif atau pemimpi Kantor Cabang Bank Syariah.
Apabila berdasarkan penilaian dan penelitian Bank
Indonesia, Pejabat Eksekutif atau
pemimpin Kantor cabang termasuk dalam daftar orang-orang yang dilarang
menjadi pemegang saham, pemegang saham
pengendali, pengurus, pejabat eksekutifbank maka bank syariah wajib segera memberhentikan yang
bersangkutan
H. UNIT
USAHA SYARIAH
Kantor-kantor
cabang syariah dari bank umum konvensional
pada dasarnya merupakan unit yang mempunyai karakteristik kegiatan usaha
yang berbeda, serta mempunyai pencatatan
dan pembukuan yang terpisah dari kantor-kantor konvensionalnya. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu
unit kerja khusus yang disebut dengan Unit Usaha Syariah (UUS) yang
berfungsi sebagai kantor induk cabang syariah. Unit tersebut berada di
kantor pusat bank dan dipimpin oleh seorang anggota direksi atau pejabat satu
tingkat di bawah direksi. Secara umum tugas UUS mencakup :
a. Mengatur
dan mengawasi seluruh kegiatan
kantor cabang syariah.
b. Melaksanakan
fungsi treasury dalam rangka pengelolaan dan penempatan dana yang bersumberdari
kantor-kantor cabang syariah.
c. Menyusun
laporan keuangan konsolidasi dari seluruh kantor-kantor cabang syariah.
d. Melaksanakan
tugas penatausahaan laporan keuangan
kantor-kantor cabang syariah.
I. SUMBER
DAYA MANUSIA
Kegiatan
usaha bank secara umum menuntut adanya prolesionalisme yang tinggi guna mendukung proses pengambilan keputusan dan
pengendalian risiko usaha sekecil mungkin.
Sesuai dengan karakteristik kegiatan usahanya, sumber daya manusia
perbankan syariah selain harus mempunyai
kemampuan teknis di bidang perbankan, juga dituntut untuk memiliki pengetahuan mengenai kententuan dan
prinsip syariah secara baik, serta memiliki
akhlak dan moral yang lslami. Akhlak
dan moral yang Islami dalam bekerja mempunyai empat ciri pokok yaitu: shiddiq
(benar dan jujur), tabligh (mengembangkan lingkungan /bawahan menuju kebaikan),
antanah (dapat dipercaya), dan fathonah (kompeten dan profesional). Keempat ciri pokok tersebut hendaknya dapat
menjadi ketentuan umum yang bersifat normatif dalarn penetapan
kualitas sumber daya manusia baik pimpinan maupun pelaksana pada bank
syariah.
Secara khusus Bank
lndonesia mengatur bahwa pimpinan bank syariah dan pimpinan kantor cabang bank
syariah diharuskan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
Memiliki komitmen dalam merrjalankan
operasional bank berdasarkan prinsip syariah secara konsisten.
b.
Memiliki integritas dan moral yang baik.
c.
Mempunyai pengalaman operasional
perbankan syariah atau telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan perbankan
syariah baik di dalam maupun di luar negeri.
Oleh karena bank
syariah memerlukan kepercayaan masyarakat bahwa dalam pelaksanaan kegiatan
usahanya tidak menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah serta
mempertimbangkan aspek sosio-kultur masyarakat muslim Indonesia, maka sebaiknya
dalam tahap awal pengangkatan pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor
cabang syariah beragama Islam.
J. KEGIATAN
USAHABANK SYARIAH
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor:6212 4lPBl/2004 tanggal I4 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdliarkan prinsip syariah. kegiatan usaha bank
syariah dapat dibedakan sebagai berikut :
a.
Penghimpun dana (funding)
b.
Penyaluran dana atau pembiayaan (financing)
c.
Penyediaan jasa-jasa pelayanan perbankan
(bank services)
K. PENGHIMPUNAN
DANA
Penghimpunan dana atau disebut juga
funding adalah kegiatan penarikan dana atau penghimpunan dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan investasi berdasarkan prinsip syariah. Berkaitan dengan
kegiatan penghimpunan dana, dalam prinsip syariah dibedakan antara simpanan
yang tidak memberikan imbalan dan simpanan yang mendapatkan imbalan. Dana
simpanan atau tabungan yang tidak memberikan imbalan bagi nasabah dimaksudkan
semata-mata hanya sebagai cara untuk menyimpan atau menitipkan uang. Sementara
simpanan untuk tujuan investasi akan mendapatkan imbalan dari bank. Bentuk
simpanan manapun yang dipilih sangat dipengaruhi oleh niat atau motif dari
nasabah. Prinsip operasional syariah yang telah diterapkan secara luas dalam
penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip Al-Wadi’ah dan Al-Mudharabah.
Dengan demikian penghimpunan dana pada bank syariah disesuaikan dengan prinsip
yang melandasinya.
Bentuk-bentuk simpanan
berdasarkan prinsip syariah dapat disebutkan sebagai berikut
a.
Giro berdasarkan prinsip Al-Wadi’ah.
b.
Tabungan berdasarkan prinsip Al- Wadi’ah
dan Al-Mudharabah.
c.
Deposito berjangka berdasarkan prinsip
Al-Mudharabah.
L. PRINSIPAL
WADI’AH
Produk pendanaan pada bank syariah pada
prinsipnya tidak berbeda dengan produk pendanaan bank konvensional. Namun yang
membedakan adalah penggunaan prinsip syariah yang menyertai masing-masing
produk pendanaan, misalnya bahwa giro dan tabungan pada dasarnya dapat
dilakukan dengan menerapkan prinsip Al-Wadi’ah. Giro Al-Wadi’ah dan tabungan
Al-Wadi’ah adalah simpanan atau titipan yang kedua-keduanya dapat ditarik
sewaktu-waktu. Prinsip titipan atau simpanan dalam fiqhi dikenal dengan prinsip
Al-Wadi’ah. Al-Wadi’ah berarti titipan murni dari nasabah kepada bank atau
pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kepada penitip (penabung) kapan
saja ia inginkan.
Prinsip
Al-Wadi’ah yang berlaku baik untuk simpanan dalam bentuk giro maupun tabungan
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Berdasarkan karakteristik giro dan
tabungan menggunakan prinsip syariah Al-Wadi’ah yad dhamanah. Artinya, bank
dapat memanfaatkan dan menyalurkan kedua jenis sumber dana tersebut serta
menjamin simpanan dapat ditarik setiap saat oleh pemilik dana (penabung).
b.
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran
dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik dana tidak
memperoleh imbalan atau menanggung kerugian.
c.
Manfaat yang diperoleh pemilik dana
(penabung) adalah jaminan keamanan terhadap dana titipannya serta
fasilitas-fasilitas pelayanan giro dan tabungan lainnya. Misalnya buku
cek,bilyet giro, atau buku tabungan, serta kartu ATM.
d.
Pada dasarnya bank dapat memberikan
bonus kepada pemilik dana namun tidak ada perjanjian di muka.
e.
Bank harus membuat akad pembukaan
rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan
persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
f.
Terhadap pembukaan rekening ini bank
dapat menganakan biaya administrasi. Untuk menghindari riba, maka biaya
administrasi harus dinyatakan dengan nominal, bukan persentase.
g.
Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
Prinsip
Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah perjanjian antara
penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan
pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah
disepakati sebelumnya. Sementara M. Syafi’i antonio (2001) mendefinisikan
Al-Mudharabah sebagai akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shhibulmaal) menyediakan seluruh modal,sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak. Apabila terjadi kerugian, hal tersebut ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian pengelol,
maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Produk
pendanaan yang dapat menggunakan prinsip Al-Mudharabah adalah tabungan dan
deposito berjangka. Selanjutnya, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
pihak pemilik dana (penabung), prinsip Al-Mudharabah dapat dibedakan dalam 2
jenis sebagai berikut :
a.
Mudharabah muthlaqah.
b.
Mudharabah muqayyadah.
Mudharabah
muthlaqah
Mudharabah muthlaqah adalah kerjasama
antara pemilik dana (shahibul maal) dan mudharib (bank) yang cakupannya sangat
luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha,waktu,dan wilayah bisnis.
Artinya, pemilik dana memberikan bank kekuasaan yang sangat besar dalam
penggunaan dana simpanannya kepada mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana,
prinsip mudharabah mutlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening tabungan
dan deposito berjangka. Ini menyebabkan kemungkinan 2 jenis penghimpunan dana
berdasarkan prinsip syariah yaitu: Tabungan Al-Mudharabah dan Deposito
Berjangka Al-Mudharabah. Berdasarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank
dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Prinsip Al-Mudhorabah
yang berlaku baik untuk Tabungan maupun Deposito Berjangka adalah sebagai
berikut:
a.
Bank wajib memberitahukan kepada pemilik
dana mengenai nisbah dan tatacara pemberian keuntungan dana/atau perhitungan
pembagian keuntungan serta risiko yang dapat timbul dari penyimpanan dana. Apabiia telah tercapai kesepakatan, maka hal
terseiut harus dicantumkan dalam akad.
b.
Untuk Tabungan Mudharabah, bank dapat
memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan' serta kartu ATM dan/atau
alat penarikan lainnya kepada penabung.
c.
Bank wajib memberikan sertifikat atau
bukti simpanan kepada deposan bagi deposito berjangka Mudharabah.
d.
Deposito berjangka mudharabah hanya
dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang disepakati.
e. Deposito
yang diperpanjang setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito
baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan maka secara otomatis
tidak perlu dibuat akad baru.
f. Ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
Mudharabah Muqayyadah
Jenis
mudharabah Al-Muqayyadah merupakan
simpanan dana khusus (restricted investment) dimana pemilik dana menetapkan
syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank. Mudharabah Al-Muqayyadah
merupakan kebalikan dari mudharabah mutlaqah dimana mudharib (bank) dibatasi
jenis usaha, waktu,atau tempat usaha.
Karakteristik
jenis simpanan Mudharobah Muqayyah ini adalah sebagai berikut:
a.
Pemilik dana menetapkan syarat penyaruran
dana. Untuk itu bank wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran
dana simpanan khusus.
b. Sebagai
tanda bukti simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus.
c.
Bank wajib memisahkan dana dari rekening
simpanan khusus dengan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada
pos tersendiri aatam rekening administratif.
d. Dana
simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan
oleh pemilik dana.
M. PENYALURAN
DANA
Kegiatan
penyaluran dana atau pembiayaan Bank Syariah harus tetap berpedoman pada
prinsip-prinsip kehati-hatian yang diatur oleh bank indonesia. Oleh karena itu,
bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana
berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Bentuk penyaluran dana atau pembiayaan yang dilakukan
bank syariah dalam melaksanakan operasinya secara garis besar dapat dibedakan
ke dalam 4 kelompok sebagai berikut :
a. Prinsip
jual beli (Bai’).
b. Prinsip
bagi hasil.
c. Prinsip
sewa menyewa (ijarah).
d. Prinsip
pinjam meminjam berdasarkan akad qardh.
Prinsip
Jual Beli (Bai’)
Dalam penerapan prinsip
syariah rerdapat 3 jenis prinsipjuar beri (bai’) yang banyak dikembangkan oleh
perbankan syariah dalam kegiatan pembiayaan modal kerja dan produksi, yaitu
sebagai berikut:
a.
Bai'al Murabahah
b.
Bai'qs-Salam
c.
Bai'al-Istishna
Bai' Al-Murabahah
Bai'
Al-Murabahah pada dasarnya adalah transaksi jual beli barang dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi kebutuhan barang oleh nasabahnya,
bank membeli barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dipesan
atau dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual kembali barang tersebut kepada
nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang disepakati.
Pinsip murabahah banyak
diterapkan daram pembiayaan pengadaan barang investasi. Skema ini paling banyak
digunakan karena sederhana dan menyerupai kredit investasi pada bank
konvensional. Skema murabahah sangat berguna bagi seseorang yang membutuhkan
barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Ia meminta kepada bank agar
membiayai pembelian barang tersebut dan membayarnya sesuai kemampuan
keuangannya. Harga jual pada pemesanan adarah harga pokok ditambah marjin
keuntungan yang disepakati. Kesepakatan harga jual dicantumkan dalam akad jual
beli dan tidak dapat berubah menjadi lebih mahal selama berlakunya akad.
Transaksi dengan
prinsip Bai’ al-Murabahah ini dapat dijelaskan sebagai berikut: PT Anda Tbk
membutuhkan mesin baru untuk mengganti mesin lamanya yang sudah sering rusak
sehingga menghambat produksi. Rencana pembelian mesin tersebut terhalang karena
jumlah cadangan pembelian mesin baru hanya sebesar Rp 300 juta. Jumrah ini
sangat jauh dari cukup PT Anda.
Kemudian mengajukan
permohonan pembiayaan untuk jangka waktu 3 tahun kepada PT Bank Syariah Anti
Riba (Bank SAR) dengan menyampaikan proposal dan spesifikasi serta proyeksi
harga mesin yang diinginkan. Selanjutnya Bank SAR menyanggupi membiayai
pengadaan mesin baru dengan harga Rp 1 miliar, sudah termasuk biaya instalasi.
Apabila diasumsikan margin keuntungan bank disepakati 15% p.a dan PT Anda Tbk bersedia membiayai sebagian
pembelian mesin tersebut dengan menyetor Rp300 juta. Perhitungan pembiayaan
tersebut sebagai berikut:
Jumlah pembiayaan yang diberikan bank
adalah sebesar Rp700 juta (Rp I miliar - Rp300 juta). Marjin keuntungan Rp 315
juta (Rp700juta x l5% x 3 tahun). Harga jual mesin oleh bank dihitung sebagai
berikut:
Harga beli mesin =
Rp1.000.000.000
Margin keuntungan = Rp 315.000.000
Harga jual bank = Rpl
.315.000.000
Uang muka =
Rp 300.000.000
Sisa Angsuran =
Rp1.015.000.000
Cicilan perbulan selama 36
bulan: Rp 1.0 I 5.000.000/35 = Rp
28.194.445
Bai'
As-salam
Bai' as-salam adalah
pembelian suatu barang yang penyerahannya (delivery) dilakukan kemudian hari
sedangkan pembayaran dilaksanakan di muka secara tunai Bai' as-salam dalam
perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk
produksi agribisnis atau hasil pertanian atau industri lainnya/Barang yang
dibeli harus diketahui secara jelas jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya.
Harga jual yang disepakati harus dicantumkan dalam akad dan tidak boleh berubah
selama berlakunya akad. Apabila barang atau hasil produksi yang diterima cacat
atau tidak sesuai dengan akad, maka penjual atau produsen harus
bertanggungjawab dengan cara mengembalikan dana yang telah diterimanya atau
mengganti dengan barang yang sesuai pesanan.
Mengingat bank tidak
memproduksi atau memiliki persediaan atas barang yang dibeli atau dipesan
nasabah, maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad as-salam dengan pihak
lain yakni pemasok, misalnya bulog, pedagang pasar induk, atau rekanan lain.
Mekanisme transaksi as-salam seperti ini disebut dengan Paralel As-Salam.
Transaksi bai' as-salam ini menyerupai
praktik ijon yang masih banyak ditemukan di desa-desa. Kedua transaksi ini
sebenarnya sangat jelas perbedaannya. Dalam praktek ijon, barang yang dibeli
(diijon) tidak dihitung atau diukur secara spesifik. Penentuan harga
tidak transparan, cenderung sepihak, dan
sangat memberatkan pihak penjual sebagai pihak lemah. Harga biasanya ditentukan
untuk suatu hasil setelah panen. Sebaliknya, dalam bai' as-salam kesepakatan
antara pembeli dan penjual meliputi harga, ukuran kuantitas, kualitas, dan yang
paling penting adalah harga barang dibayar di muka secara tunai. Di samping
itu, transaksi as-salam lebih cenderung bersifat suka sama suka.
Bai'
Al-Istishna' ,
Bai’al-istishna’ pada dasarnya merupakan
kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dengan pembayaran di muka,
baik dilakukan dengan cara tunai,cicil, atau ditangguhkan. Untuk melaksanakan
skim Bai’al-istishna’ kontrak dilakukan ditempat pembuat barang menerima
pesanan dari pembeli. Pembuat barang dapat saja membuat barang yang dipesan
atau dibeli sesuai spesifikasi pesanan yang disebutkan dalam kontrak kemudian
menjualnya kembali kepada pembeli. Prinsip Bai’al-istishna’ menyerupai bai
as-salam, namun dalam istishna’ pembayarannya dilakukan dimuka,dicicil, atau
ditangguhkan. Sementara dalm skim as-salam dilakukan secara tunai.
Skim istishna’ dalam bank syariah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur,
industri kecil menengah, dan kontruksi.
Dalam istishna ini kriteria barang pesanan harus jelas jenis, macam, ukuran,
mutu, dan jumlah. Harga jual yang tetah disepakati dicantumkan dalam akad
istishna' dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi
perubahan kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad
ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung oleh nasabah.
Dalam pelaksanaannya istishna'dapat
dilakukan melalui dua macam cara:
a.
Pihak produsen ditentukan oleh bank dan
pihak produsen ditentukan oleh nasabah.
b.
Pelaksanaan salah satu dari kedua cara
tersebut harus ditentukan dimuka dalam
akad, berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak.
Prinsip
Bagi Hasil
Prinsip kedua dalam penyaluran dana
adalah prinsip Bagi Hasil. Bagi hasil atau profit sharing
dalam perbankan berdasarkan prinsip
syariah terdiri dari empat jenis akad, yaitu: al-Mudharabah,al-
Musyarakah,al-Muzara'ah, dan al-Musaqah. Namun yang paling banyak
diimplementasikan dalam perbankan syariah adalah dua prinsip bagi hasil
pertama, yaitu al-Mudharabah dan al-Musyarakah sementara yang dua terakhir
umumnya digunakan dalam rangka plantation financing.
Al-Musyarakah
Antonio Syaf i (2003)
mendefinisikan al-Musyarakah secara singkat namun jelas yaitu, akad Kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Bank Indonesia
mendefinisikan Al-Musyarakah sebagai suatu perjanjian diantara para pemilik
dana/modal untuk mencampurkan dana/modal rnereka pada suatu usaha tertentu,
dengan pombagian keuntungan di antara pemilik dana/modal berdasarkan nisbah
yang telah disepakati sebelumnya.
Pemilik modal yang
dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh rnelakukan tindakan
seperti:
a.
Menggabungkan dana proyek dengan harta
pribadi.
b.
Menjalank anproyekmusyarakahdenganpihak
lain tanpa izin dari prmilik rnodal lainnya.
c.
Memberi pinjaman kepada pihak lain.
Setiap pemilik modal
dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain. Setiap pemilik
modal dianggap mengakhiri kerjasarna apabila:
a.
Menarik diri dari Perserikatan,
b.
Meninggal dunia,
c.
Menjadi tidak cakaP hukum.
Dalam hal di mana pemilik modal sepakat
untuk menunjuk pihak ketiga sebagai pengelola
proyek (wakil), maka ada duaperjanjian
yang berlaku. Perjanjian pertama yaitu perlanjian musyarakah antar pemilik
modal. Perjanjian kedua adalalr perjanjian mudharabah atau murabahah' yaitu
antara pemilik modal dengan pengelola proyek (wakil). Biaya yang timbul dalam
pelaksanaan
proyek sertajangka
waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan,
sedangkan kerugian dibagi sesuai kontribusi modal. Apabola terjadi perubahan
kontribusi modal maka pembagian keuntungan berubah sesuai dengan kesepakatan,
sedangkan kerugian berubah sesuai dengan kontribusi modal. proyek yang akan
dijalankan harus disebutkan dalam akad. setelah proyek selesai nasabah
mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati.
JENIS-JENIS
AL-MUSYARAKAH
prinsip al-musyarakah dapat dibagi
kedalam beberapa jenis, sebagi berikut :
a.
Syirkah Al’inan
Yaitu
perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak
menyerahkan bagian modal dan ikut aktif dalam usaha kerja. Porsi setotan modan,
keuntungan, kerugian jumlahnya dibagi sesuai kesepakatan dan tidak harus sama
besar.
b.
Syirkah Mufawadhah
Yaitu
perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak
menyerahkan bagian modal yang jumlahnya sama besar dan ikut berpartisipasi
dalam pekerjaan. Demikian pula tanggung jawab dan beban utang dibagi oleh
masing-masing pihak
c.
Syirkah A’maal (Syirkah Abdan atau
sanaa’i)
yaitu
perjanjian kerjasama antara dua puhak atau lebih yang memiliki keahlian atau
profesi yang sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dimana keuntungan dibagi
bersama.
d.
Syirkah Wujuh
Yaitu
perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memiliki
reputasi dan kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.
e.
Syirkah Al-Mudharabah
Yaitu
perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana dimana pihak satunya
menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian. beberapa
ahli fiqih berpendapat bahwa Al-Mudharabah tidak dikelompokkan ke dalam prinsip
Al-Musyrakah.
AL-MUDHARABAH
Al-Mudharabah pada
dasarnya adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana salah
satu pihak menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian.
Antonio Syafi’i
mendifinisikan al-mudharabah sebagai suatu perjanjian kerja sama antara dua
pihak dimana pihak pertama (pemilik modal atau sibhul maal) menyediakan seluruh
kebutuhan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).
Keuntungan usaha yang diperoleh akan dibagi berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan. Sebaliknya apabila usaha mengalami kerugian yang disebabkan bukan
karena kesalahan atau kelalaian pengelola (mudharib), kerugian tersebut
merupakan tanggng jawab pemilik modal (shohibul maal).
JENIS JENIS
AL-MUDHARABAH
Prinsip al-mudharabah
dapat digolongkan kedalam dua jenis, yaitu al-mudharabah mutlaqah dan
al-mudharabah muqqayyadah.
a.
Al-Mudharabah Mutlaqah
Al-Mudharabah Mutlaqah
merupakan bentuk mudharabah antara shahibul maal (pemilik modal) dan mudharib
(bank), dimana shahibul maal memberikan hak atau kekuasaan yang sangat bear
kepada mudharib untuk melakukan bisnis.
Implementasi konsep
al-mudharabah mutlaqah dalam perbankan syari’ah diatur sebagai berikut :
·
jumlah modal yang diserahkan kepada
nasabah selaku pengelola modal harus berupa uang tunai.
·
hasil pengelolaan modal pembiayaan
mudharabh diperhitungkan dengan cara :
a.
perhitungan dari pendapatan proyek
(revenue sharing)
b.
perhitungan dari keuntungan proyek
(profit sharing)
·
hasil usaha dibagi sesuai dengan
persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank
selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalain dana
penyimpangan pihak nasabah.
·
bank berhak melakukan pengawasan
terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha
nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja dapat dikenakan sanaksi
administrasi.
a.
Al-Mudharabah Muqayyadah
Sifat kontrak kerjasama
antara Shahibul maal dan mudharib memberikan batasan kepada mudharib dalam
melaksanakan bisnisnya yang diatur dalam akad perjanjian kerjasama. karena
danya pembatasan-pembatasan bagi mudharib dalam menjalankan usahanya, maka
mudharib harus mengikuti ketentuan tersebut.
Karakteristik
mudharabah muqayyah dalam penerapannya di dalam perbankan syariah pada dasarnya
sama dengan persyaratan mudharabah mutaqah bagi perbankan syariah yang telah
dijelaskan diatas. Perbedaannya adalah penyediaan modal yang hanya untuk
kegiatan tertentu dan dengan syarat yang sepenuhnya ditetapkan oleh bank
sebagai shahibul maal.
N. PRINSIP
SEWA-MENYEWA
Prinsip
ketiga dalam penyaluran bank syariah adalah sewa-menyewa. Sewa-menyewa pada
dasranya meruapakn transaksi sewa guna usaha atau lesaing. Oleh karena itu
sebagaimana dalam praktek, sewa guna usaha bisa dalam bentuk sewa guna usaha dengan
hak opsi atau financial lease dan sewa guna tanpa hak opsi atau operating
lease. Dalam syariah islam prinsip sewa menyewa ini dibedakan berdaarkan akad.
yaitu al-iajarah dan al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik.
a. Al-Ijarah
Al
Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu barang
atau jasa dengan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa diikuti
pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut. Bank Indonesia mendefinisikan
Ijarah sebagai perjanjian sewa menyewa barang dalam jangka waktu tertentu
melalui pembayaran sewa. Sementara Syafi’i Antonio mendefinisikan al-ijarah
sebagai akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
b. Al-Ijarah
Al-Muntahiya Bit-tamlik
Al-Ijarah
Al-Muntahiya Bit-tamlik adalah akad atau perjanjian yang merupakan kombinasi
antara jual-beli dan sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah
dimana naabah (penyewa) diberi hak untuk membeli atau memiliki obyek sewa pada
akhir akad. Harga sewa dan beli ditetapkan diawal perjanjian. Objek sewa harus
bermanfaat, dibenarkan oleh syariah dan nilai dari manfaat dapat diperhitungkan
atau diukur.
O. PRINSIP
PINJAM MEMINJAM BERDASARKAN AKAD AL-QORDH
Bank
Indonesia mendefinisikan Al-Qardh sebagai penyediaan dana atau tagihan antara
Bank Syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan
pembayaran sekaligus atau secara cicilan dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan
Syafi’i Antonio memberikan pengertian al-qardh sebagai pemberian harta kepada
orang lain yang dapt ditagis atau diminta kembali. Dengan kata lain qardh
berarti meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Pengembalian
pinjaman tersebut dapat dilakukan sesuai dengan kempuan nasabah misalnya secara
harian atau mingguan. Bagi Bank Syariah qardh menjadi suatu produk pembiayaan,
dimana nasabah diberikan suatu suatu plafon pembiayaan untuk menutupi suatu
pembayaran dan akan dikembalikan secepatnya sejumlah yang dipinjam. Oleh karena
itu, al-qardh disebut sebagai pembiayaan dana talangan bagi nasabah atau
sebagai sumber dana talangan antar bank.
P. JASA-JASA
BANK SYARIAH
Jasa-
jasa yang diberikan bank syariah kepada nasabah berdasarkan ajad dengan
mendapatkan imbalan adalah :
a. Al-Wakalah
Al-wakalah
secara harfiah berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian mabdat. dalam
aplikasi perbankan, al-wakalah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepda
bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu. Kelalaian
dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena
fprce majeure yang menjadi tanggung jawab nasabah. Pemberian kuasa berakhir
setelah tugas dilaksanakan dan dietujui bersama natara nasabah dengan bank.
b. Al-Hawalah
Al-Hawalah
adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Transaksi ini pada dasarnya merupakan pemidahan beban utang
debitur menjadi tanggungan pihak lain yang berkewajiban menanggung pembayaran
utang. Transaksi ini dalam praktek perbankan bisa diterapkan dalam rangka
factoring atau anjak piutang.
c. Al-Kafalah
Al-kafalah
adalah garansi atau jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga
untuk menanggung kewajiban pihak kedua apabila pihak kedua tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Untuk mendapatkan garansi bank, bank dapat mempersyaratkan
nasabah untuk menempatkan atau menyetor sejumlah dana unutk mendapatkan jasa
ini, dank bank menerima dana tersebut dengan prinsip al wadi’ah.
d. Al-Rahn
Al
Rahn adalah harta atau asset yang harus diserahkan oleh peminjam sebagai
jaminan atas diterimanya pinjaman dari bank. Tujuan pemberian Al-rahn adalah
untuk membantu nasabah dalam pembiayaan usahanya. Kontrak Rahn dipakai pada
perbankan syariah dalam dua hal yaitu :
1. sebagai
prinsip, artinya sebagai akad tambahan terhadap produk syariah lain.
2. sebagai
produk penjamin, artinya bank tidak memperoleh apa-apa kecuali imbalan atas
penyimpanan, pemeliharaan, asuransi, dan adminitrasi barang yang digadaikan.
Barang
yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
1. milik
nasabah sendiri
2. jelas
ukuran, sifat, jumlah, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
3. dapat
dikuasai namun tidak boleh digunakan oleh bank.
Q. KEGIATAN
USAHA LAINNYA
Kegaiatan
usaha yang dapat dilakukam Bank Syariah yang tetapkan oleh Bank Indonesia
antara lain
a. membeli,
menjual dan/atau meminjam atas resiko sendiri dari surat berharga pihak ketiga
yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip syariah.
b. membeli
surat berharga berdasarakan prinsip syariah
c. menerbitakan
surat berharga berdasarakan prinsip syariah
d. memindahkan
uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip syariah
e. menerima
pembayaran surat taguhan atas surat berharga yang diterbitakn dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah.
f. menmfasilitasi
generasi bank berdasarkan prinsip syariah
g. melakukan
kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah
h. melakukan
kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf
i.
melakukan kegiatan usaha kartu debet,
charge card berdasarkan prinsip syariah
j.
dan beberapa lainnya yang belum
disebutkan.
R. PERBEDANAAN
BUNGA DENGAN SYARIAH
Berikut tabel perbedaan sistem bunga dengan prinsip
syariah
Pokok perbedaan
|
Sistem bunga atau
konvensional
|
Prinsip yariah islam
|
Dasar perjanjian
penentuan bunga
|
Tidak berdasarkan
keuntungan atau kerugian
|
Berdasarkan
keuntungan atau kerugian
|
Dasar perhitungan
bunga
|
Presentasi tertentu
dari peminjaman
|
Nisbah bagi hasil
berdasarka keuntungan yang diperoleh
|
Kewajiban membayar
bunga
|
a. tetap
harus dibayar meskipun usaha nasabah merugi
b. besarnya
pembayaran bunga tetap
|
a. imbalan
dibayar bila usaha nasabah untung. bila mengalami kerugian, kerugian
ditanggung dua belah pihak
b. besarnya
imbalan disesuaikan keuntungan
|
Persyaratan jaminan
|
Mutlak diperlukan
|
Tidak mutlak
|
Oyek usaha yang
dibiayai
|
Tidak ada pembatasan
jenis usaha selama bankable
|
Jenis usaha harus
sesuai syariah
|
Kedudukan prinsip
bunga berdasarkan syariah
|
Pengenaan bunga
sifatnya haram
|
Pembayaran imbalan
berdasarakan bagi hasil adalah halal
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
BPR (Bank Perkreditan Rakyat) sangat diperlukan oleh
masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Selain itu
Bank Syariah juga sama pentingnya dengan BPR, Bank Syariah diperlukan untuk
membantu masyarakat Indonesia yang membutuhkan bantuan lembaga keuangan namun
takut akan terjadi riba’.
B. Saran
Perlu adanya pemerataan pembangunan atau ditribusi
fasilitas publik yang dalam hal ini adalah lembaga keuangan. pemerintah harus
menswadayakan pembentukan BPR dan Bank Syariah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen lembaga keuangan kebijakan moneter dan perbankan, Edisi
kelima, Fakultas Ekonomi UI; Jakarta.
No comments:
Post a Comment