BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam proses
hukum dewasa ini berbagai kajian ilmiah tentang UUD 1945, banyak yang
melontarkan ide untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Amandemen tidak
dimaksudkan untuk mengganti UUD 1945, tetapi amandemen merupakan suatu prosedur
penyempurnaan terhadap UUD 1945, amandemen lebih merupakan perlengkapan dan
rincian yang dijadikan lampiran otentik bagi UUD 1945. Ide tentang amandemen
terhadap UUD 1945 didasarkan pada kenyataan sejarah selama orde lama dan
orde baru, bahwa penerapan pasal terhadap pasal-pasal UUD memiliki sifat “multi
interpretable” atau dengan kata lain berwayuh arti sehingga mengakibatkan
adanya sentralisasi kekuasaan kepada persiden. Hal yang mendasar bagi
pentingnya amandemen UUD 1945 tidak adanya sistem kekuasaan dengan check and balances
terhadap kekuasaan eksekutif.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian UUD 1945?
2. Apa saja
sifat, ciri dan tujuan UUD 1945?
3. Bagaimana
perubahan konstitusi atau UUD?
4. Bagaimana
kedudukan UUD 1945?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Memaparkan pengertian
UUD 1945.
2.
Memaparkan sifat,
ciri dan tujuan UUD 1945.
3. Memaparkan perubahan konstitusi atau UUD.
4.
Memaparkan
kedudukan UUD 1945.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
UUD 1945
Konstitusi atau
Undang Undang Dasar sebuah negara diartikan sebagai suatu bentuk pengaturan
tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara, baik aspek hukum
maupun aspek lainnya yang merupakan kespakatan masyarakat untuk diatur. Aspek
lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek social maupun aspek filosofis
dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan tertentu.
KC Wheare,
mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu
Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah
dalam pemerintahan suatu Negara. Peraturan disini merupakan gabungan antara
ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hokum (legal) dan yang tidak memiliki
sifat hokum (non legal). Berdasarkan pengertian ini, konstitusi merupakan
bentuk pengaturan tentang berbagai aspek yang mendasar dalam sebuah Negara,
baik aspek hukum maupun aspek lainnya yang merupakan kespakatan masyarakat
untuk diatur. Aspek lain dalam pengertian ini dapat berupa aspek social maupun
aspek filosofis dalam arti asas-asas yang didasarkan pada alasan-alasan
tertentu.
C.F. Strong
mengatakan bahwa konstitusi memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat
untuk konsolidasi posisi politik dan hokum, untuk mengatur kehidupan bersama
dalam rangka mewujudkan tujuannya dalam bentuk Negara.
James Bryce
mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (Negara)
yang diorganisir dengan dan melalui hokum. Dengan kata lain, hokum menetapkan
adanya lembaga-lembaga permanent dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak
yang telah ditetapkan. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai
kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak pihak yang
diperintah (rakyat) dan hubungan diantara keduanya. Konstitusi bisa berupa
sebuah catatn tertulis; konstitusi dapat diketemukan dalam bentuk dokumen yang
bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman atau
konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan hokum terpisah dan memiliki otoritas
khusus sebagai hokum konstitusi.
UUD 1945 adalah
hukum dasar yang menetapkan struktur dan prosedur organisasi yang harus diikuti
oleh otoritas publik agar keputusan-keputusan yang dibuat mengikat komunitas
politik. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD '45, adalah hukum dasar tertulis(basic law), konstitusi pemerintahan negara Republik Indonesia saat ini.
B. Sifat, Ciri dan Tujuan UUD 1945
1)
Sifat UUD
1945
UUD RI 1945 memiliki sifat sebagai
berikut :
a) Singkat
artinya UUD RI 1945 hanya memuat sendi – sendi pokok hukum dasar Negara
Indonesia, yang hanya terdiri dari 37 Pasal. Sedangkan UUD lain memiliki jumlah
pasal yang lebih banyak, misalnya :
·
UUD S 1950
jumlah pasalnya sebanyak 146
·
UUD RIS 1949
jumlah pasalnya sebanyak 197
·
UUD Birma
jumlah pasalnya sebanyak 234
·
UUD Panama
jumlah pasalnya sebanyak 291
·
UUD India
jumlah pasalnya sebanyak 395
b) Fleksibel
artinya dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat, karena hanya
memuat aturan-aturan yang bersifat pokok, sedangkan aturan-aturan
penyelenggaraan (yang lebih teknis) diserahkan pada peraturan-peraturan yang
tingkatannya lebih rendah seperti undang-undang, PP dan lain-lain yang lebih
mudah dari segi cara pembuatan atau perubahannya.[
2) Ciri-ciri
dan Tujuan UUD
Menurut Miriam Budiardjo, setiap
konstitusi/UUD memuat lima
ketentuan atau ciri-ciri :
1. Organisasi
negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislative, eksekutif, dan
yudikatif, dalam ngara federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal
dan pemerintah Negara bagian, prosedur menyelesaikan masalah menyelesaikan
masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.
2. Hak-hak
asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights jika berbentuk naskah
tersendiri).
3. Prosedur
mengubah undang-undang dasar.
4. Adakalanya
membuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar. Hal
ini jika para penyusun undang-undang dasar ingin menghindari terulangnya
kembali hal-hal yang baru saja teratasi, seperti munculnya seorang dictator
atau kembalinya suatu monarki. Misalnya undang-udang dasar Jerman melarang
untuk mengubah sifat federalisme dari undang-undang dasar karena dikhawatirkan
bahwa sifat unitarisme dapat melicinkan jalan untuk munculnya kembali seorang
dictator seperti Hitler.
5. Memuat
cita-cita rakyat dan asas-asas ideologi negara.
Di samping kelima ketentuan diatas,
konstitusi menurut Sovernin Lohman, harus memuat unsur-unsur sebagai berikut :
1. Konstitusi
dipandang sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak social). Artinya
bahwa konstitusi merupakan konklus dari kesepakatan masyarakat untuk membina
negara dan pemerintahan yang akan mengatur mereka.
2. Konstitusi
ebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia dan warga negara sekaligus
penentuan batas-batas hak dan kewajiban warga Negara dan alat-alat
pemerintahnya.
3. Konstitusi
sebagai forma regimenis, yaitu kerangka bangunan pemerintahan.
Dalam penyusunan atau pembuatan
konstitusi, selain harus mengandung ketentuan-ketentuan atau unsur-unsur
sebagaimana disebutkan diatas, juga tentunya memiliki sejumlah tujuan yang
hendak dicapai dan sering juga disebut fungsi konstitusi, diantaranya adalah :
1. Pembatasan
sekaligus pengawasan terhadap proses-proses kekuasaan politik.
2. Pelepasan
kontrol kekuasaan dari penguasa sendiri.
3. Pemberian
batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
4. Aturan main
(rule of the game) fundamental bagi setiap kehidupan bermasyarakat dan
kehidupan bernegara.
C. Perubahan Konstitusi atau UUD
Dalam masyarakat umum, mengenai
status konstitusi ini, sudah lama berkembang ada dua arus pandangan, yang
pertama, bahwa suatu konstitusi tidak boleh terlalu mudah diubah karena akan
merendahkan arti simbolis undang-undang dasar itu sendiri. Dan kedua,
konstitusi hendaknya jangan terlalu sukar untuk mengadakan perubahan supaya
mencegah generasi-generasi mendatang merasa terkekang dank arena bertindak di
luar undang-undang dasar. Kehadiran prosedur perubahan konstitusi yang dimuat
dalam sebuah konstitusi diharapkan menjadi bagian dari langkah proaktif
sekaligus antisipasi terhadap pandangan yang disebutkan di akhir.
Dalam sistem ketatanegaraan modern,
setidaknta ada dua sistem yang berkembang dalam perubahan konstitusi, yaitu renewel
(pembaharuan) seperti dianut di Erofa Kontinental dan amandement (perubahan)
seperti dianut di negara Anglo-Saxon. Sistem perubahan konstitusi dengan model renewel
merupakan perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan
adalah konstitusi baru secara keseluruhan. Di antara negara yang menganut model
ini adalah Perancis, Belanda, dan Jerman. Sementara
perubahan yang menganut sistem amandement, ialah apabila suatu
konstitusi diubah (di amandement), konstitusi yang asli tetap berlaku.
Dengan kata lain, hasil amandemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang
menyertai konstitusi awal. Di antara negara yang mengatur model ini ialah
Amerika Serikat.
Adapun prosedur yang dapat digunakan
untuk mengubah suatu konstitusi menurut Miriam Budiardjo ada empat macam, yaitu
:
Ø Sidang badan
legislative ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan quorum untuk sidang
yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimum anggota
badan legislatif untuk menerimanya.
Ø Referendum
atau plebisit.
Ø Negara-negara
bagian dalam Negara federal (seperti Amerika Serikat, ¾ dari 50 negara bagian
harus menyetujui).
Ø Musyawarah
khusus (special convention) (seperti di beberapa Negara Amerika Latin).
Pandangan yang hamper senada
diungkapkan oleh C.F Strong. Ia mengatakan bahwa prosedur perubahan konstitusi
ada empat macam cara perubahan, yaitu :
1. Perubahan
konstitusi yang dilakukan oleh pemegang kekuasa legislative, tetapi menurut
pembatasan-pembatasan tertentu.
2. Perubahan
konstitusi yang dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum
3. Perubahan
konstitusi dan ini berlaku dalam negara serikat yang dilakukan oleh sejumlah
negara bagian.
4. Perubahan
konstitusi yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu
lembaga Negara khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Sementara itu, K.C. Where mengemukakan
empat macam prosedur dalam mengubah konstitusi, yaitu :
1. Beberapa
kekuatan yang bersifat primer (some primary forces).
2. Perubahan
yang diatur dalam konstitusi (formal amandement).
3. Penafsiran
secara hokum (judicial interpretation).
4. Kebiasaan
yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention).
Untuk konteks dinegara Indonesia,
wewenang mengubah Undang-Undang Dasar berada ditangan lembaga tertinggi Negara
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan ketentuan :
1.
Quorum
adalah 2/3 dari anggota MPR.
2.
Usul
perubahan Undang-Undang Dasar harus diterima oleh 2/3 dari anggota yang hadir.
Dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia, sejak Negara Indonesia diproklamasikan, sekurang-kurangnya telah dilakukan
delpan kali praktik perubahan konstitusi, baik perubahan dalam pengertian
pergantian maupun dalam pengertian amandemen. Adapun kedelapan praktik
perubahan konstitusi tersebut adalah :
1. Undang-Undang
Dasar 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949).
2. Undang-Undang
Dasar Indonesia Serikat / Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950).
3. Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959).
4. Undang-Undang
Dasar 1945 (5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999).
5. Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000).
6. Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000 – 9 November 2001).
7. Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahan I, II, dan III (9 November 2001 – 10 Agustus 2002)
D. Kedudukan
UUD 1945
Sebagai Hukum Dasar atau Hukum
Pokok, UUD 1945 dalam kerangka tata aturan atau tata tingkatan norma hukum yang
berlaku menempati kedudukan yang tinggi dan semua perundang-undangan,
peraturan-peraturan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan. Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu
hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum
tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan atau kebijakan
pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih
tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan tersebut
harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan
muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.(Pasal 2 UU
No. 10 Tahun 2004).
Dalam kedudukan yang demikian itu,
UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau hierarki peraturan
perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi. Dalam hubungan
ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD
1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan
norma hukum yang lebih tinggi, dan pada akhirnya apakah norma-norma hukum
tersebut bertentangan atau tidak dengan ketentuan UUD 1945. Undang-Undang Dasar
bukanlah satu-satunya atau keseluruhan hukum dasar, melainkan hanya merupakan
sebagian dari hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Disamping itu masih ada hukum dasar yang lain, yaitu hukum dasar yang tidak
tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis tersebut merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
negara -meskipun tidak tertulis-yaitu yang biasa dikenal dengan nama
‘Konvensi’. Meskipun Konvensi juga merupakan hukum dasar (tidak tertulis), ia
tidaklah boleh bertentangan dengan UUD 1945. Konvensi merupakan aturan
pelengkap atau pengisi kekosongan hukum yang timbul dan terpelihara dalam
praktek penyelenggaraan ketatanegaaan, karena Konvensi tidak terdapat dalam UUD
1945.
Negara yang memiliki Undang-undang
Dasar, terutama yang menamakan diriya sebagai negara hukum, Undang-undang dasar
tersebut berfungsi sebagai :
a.
peraturan-perundangan
yang tertinggi
b. sabagai sumber hukum dagi semua
peraturan-perundangan yang berlaku si negara yang bersangkutan.
Dengan dimilikinya kedua fungsi undang-undang dasar seperti tersebut
diatas, berarti semua peraturan-perundangan di negara itu, harus bersumberkan
pada Undang-undang Dasar tersebut, serta isinya harus sesuai dan tidak boleh
bertentangan dengan Undang-undang Dasarnya. Apabila sampai terjadi adanya suatu
peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka konsekuensinya,
peraturan-perundangan yang isinya bertentangan itu harus dicabut.
1) UUD 1945 Sebagai Landasan Hukum
Tertinggi
Kata landasan dalam hukum berarti
melandasi atau mendasari atau titik tolak. Sementara itu kata hukum dapat
dipandang sebagai aturan baku yang patut ditaati. Hukum atau aturan baku diatas
tidak selalu dalm bentuk tertulis. Landasan hukum dapat diartikan peraturan
baku sebagai tempat terpijak atau titik tolak dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan tertentu, dalam hal ini kegiatan pendidikan. Pendidikan
Menurut Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang Dasar 1945 adalah
merupakan hukum tertinggi di Indonesia. Ia mendasari semua perundang-undangan
yang ada yang muncul kemudian. Pasal-pasal yang bertalian dengan
pendidikan yaitu pasal 31 dan pasal 32. Pasal 31 ayat 1 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara berhak mendapt pengajaran. Dan ayat 2 berbunyi:
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional,
yang diatur dengan undang-undang. Pasal 32 berbunyi: Pemerintah mengajukan
kebudayaan nasional Indonesia. Kebuyaan dan pendidikan adalah dua unsur yang
saling mendukung satu sama lain. Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Diantara peraturan
perundang-undangan RI yang paling banyak membicarakan pendidikan adalah
undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003. Pasal 1 ayat 1 berbunyi: Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembagkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasn, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru
dan dosen. Pasal 10 ayat (2), pasal 11 ayat (4), pasal 13 ayat (2), pasal
14 ayat (2), pasal 16 ayat (4), pasal (18) ayat (4), pasal 19 ayat (3), pasal
21 ayat (2), pasal 22 ayat (2), pasal 25 ayat (2), pasal 26 ayat (2), pasal 28
ayat (5), pasal 29 ayat (5), pasal 35 ayat (3), pasal 37 ayat (5) dan pasal 40
ayat (3).
Beberapa PP tentang Pendidikan dan GBHN 1993.
Beberapa Peraturan Pemeintah tentang
pendidikan yang akan dibahas yaitu:
1. Peraturan
Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah
2. Peraturan
Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
3. Peraturan
Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.
4. Peraturan
Pemerintah RI Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi.
2) UUD RI 1945 Sebagai Landasan
Konstitusional, Struktural, dan Operasional
Landasan Formil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan adalah dimaksudkan untuk memberikan legitimasi
prosedural terhadap pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dicantumkan
dalam dasar hukum “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan
Landasan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk
memberikan tanda bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan
penjabaran dari Pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dicantumkan juga dalam dasar hukum “mengingat” suatu Peraturan
Perundang-undangan yang (akan) dibentuk. Landasan Materiil Konstitusional
Peraturan Perundang-undangan ini kemudian diuraikan secara ringkas dalam
konsiderans “menimbang” dan dituangkan dalam norma-norma dalam pasal dan/atau
ayat dalam Batang Tubuh dan dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan suatu
peraturan perundang-undangan kalau kurang jelas.
Sebelum dibentuknya Mahkamah
Konstitusi dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 di Era Reformasi, undang-undang juga dapat diuji terhadap
Undang-Undang Dasar. Namun pengujiannya bukanlah pengujian secara judicial
melainkan pengujian secara legislatif atau secara politis
(legislative/Political Review) karena yang mengujinya adalah lembaga politik
atau lembaga legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagaimana
dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. TAP MPR ini sebagai pengganti TAP
MPRS No. XX/MPRS/1966.
Dengan dibentuknya Mahkamah
Konstitusi yang diberikan kewenangan konstitusional menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar dan kewenangan Mahkamah Agung yang semula
didasarkan kepada undang-undang sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan
perundang-undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundang-undangan
agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi atau Mahkamah Agung. Landasan
konstitusional pembangunan adalah UUD 1945. UUD 1945 merupakan arahan
yang paling dasar dalam menyusun tujuan pokok pembangunan nasional sebagai
suatu visi pembangunan nasional guna dijadikan landasan dalam
Keputusan/Ketetatapan MPR. Khusus dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan empat
pokok tujuan pembangunan nasional mencakup: mencerdaskan kehidupan bangsa,
menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah
Indonesia, dan berperanserta dalam membantu ketertiban dunia dan perdamaian
abadi. Landasan operasional pembangunan adalah Keputusan/Ketetapan MPR. Keputusan/Ketetapan
MPR terutama Ketetapan tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)1
merupakan arahan paling dasar sebagai misi pembangunan nasional lima
tahunan guna dijadikan landasan dalam penyusunan pembangunan nasional-lima
tahunan. GBHN disusun oleh MPR. Dasar penyusunan GBHN adalah UUD 1945.
3) Konstitusi/
UUD Sebagai Pemersatu
Salah satu hikmah peringatan seratus
tahun kebangkitan nasional adalah pentingnya persatuan segenap komponen bangsa
tanpa menghapuskan perbedaan. Kebangkitan nasional membuktikan bahwa penjajahan
yang telah menindas bangsa Indonesia selama tiga setengah abad bias dikalahkan
oleh persatuan dan perjuangan yang terorganisasi. Bahkan, persatuan itu yang
pula yang telah menjadi landasan berdirinya Negara Indonesia hingga saat ini.[6] Disisi lain,
unsure keragaman harus diakui memiliki potensi menimbulkan perpecahan. Pada
saat ikatan social suatu bangsa telah retak, maka hilanglah kekuatan utama
bangsa tersebut untuk menghadapi segala ancaman dan tantangan. Karena itu
potensi timbulnya keretakan social harus senant iasa disadari sehingga semangat
untuk memupuk persatuan selalu terjaga. Terlebih lagi,problem kekinian yang
dihadapi oleh masyarakat semakin kompleks. Keretakan social dapat terjadi tidak
hanya karena alas an suku dan ras.Melainkan karena juga perbedaan agama,
keyakinan, dan yang tak kalah berpengaruh : kepentingan politik.
a.
Konstitusi
sebagai Pengikat
Agar persatuan segenap elemen bangsa itu terjalin dan terjaga,
diperlukan “ikatan” yang dibuat dan ditumbuhkembangkan bersama. Pada masa
sebelum kemerdekaan, ikatan yang mempersatukan segenap komponen bangsa yang
beragam itu adalah cita-cita kemerdekaan agar terbebas dari penindasan
penjajah. Ikatan tersebutlah yang mampu mengantarkan bangsa Indonesia kedepan
pintu gerbang kemerdekaan, Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam
konteks kekinian, ikatan yang mempersatukan warga Negara dan komponen
bangsa dalam organisasi Negara adalah konstitusi. Secara teoritis,
konstitusi dikonstruksikan sebagai hasil dari perjanjian social seluruh rakyat
sebagai pemilik kedaulatan. Proses perjanjian tersebut dilakukan melalui
mekanisme demokrasi modern yaitu demokrasi perwakilan. Hal itu dapat dilihat
dari proses perubahan UUD 1945. Perubahan tersebut dilakukan oleh MPR yang
didalamnya berhimpun para wakil rakyat. Mekanisme tersebut menunjukan bahwa
perubahan UUD 1945 merupakan kehendak dan kesepakatan seluruh waga Negara
dan segenap komponen bangsa. Karena yang berkehendak adalah pemilikan
kedaulatan, maka hasilnya mengikut seluruh warga Negara dan penyelenggara
Negara.
Dari sisi hokum, konstitusi mendapatkan legitimasi dari rakyat yang
berdaulat sehingga kedudukannya sebagai sumber hokum trtinggi, mengatasi
pemerintahan yang dibentuknya. Dari sisi materi, konstitusi memuat tiga jenis
kesepakatan dasar , yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama,
kesepakatan mengenai prinsip dasar sebagai landasan penyelenggaraan ngara, serta
kesepakatan mengenai institusi dan prosedur ketatanegaraan
termasuk hak asasi manusia dan hak konstitusional warga Negara yang harus
dijamin dan tidak boleh dilanggar dalam penyelenggaraan Negara itu
sendiri. Kesepakatan-kesepakatan dasar tersebut merupakan abstraksi dan
simpul yang mempertemukan berbagai latar belakang dan aspirasi rakyat
yang berbeda-beda. Kesepakatan
tersebut tentu tidak serta merta dapat dicapai, tetapi harus melalui proses
dialog, menyamakan pemahaman, saling meberi dan menerima. Di dalam proses
pembentukan kesepakatan, selain kualitas proses dialogis tentu juga
ditentukan oleh kuantitas dari masing-masing komponen bangsa.W laupun, tidak
dapat diingkari bahwa proses pembentukan kesepakatan selalu ada unsure
mayoritas-minoritas. Namun, hal itu tidak berarti bahwa kelompok
mayoritas dapat menentukan segala-galanya dan kelompok minoritas dilanggar
hak-haknya. Karena, dalam proses tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar
yang telah diterima sebagai kebenaran bersama yang keberdaaannya tidak
ditentukan oleh mayoritas-minoritas. Prinsip-prinsip tersebut, sebut saja hak
asasi manusia dan hak asasi konstitusional warga Negara. Sebaliknya, kaum
minoritas juga I harus menyadari dan menghormati perbedaan, termasuk perbedaan
kuantitas yang dimiliki.
Proses pembentukan serta materi yang termuat didalam konstitusi tersebut,
menempatkan konbstitusi sebagai pemersatu kergaman bangsa.Konstitusi menjadi
rujukan bersama, tidak hanya dalam penyelenggaraan Negara, melainkan juga dalam
membina kehidupan bersama sebagai satu bangsa. Setiap komponen bangsa, apapun
perbedaannya, harus senantiasa menempatkan konstitusi sebagai acuan dalam
menjalani kehidupan bersama komponen bangsa lain yang berbeda, baik berdasrkan
suku, bahasa, agama, maupun keyakinan dan kepentingan politik.
b.
Konstektualisasi
perjanjian Sosial
Namun, pada kenyataannya, gesekan-gesekan antar kelompok –kelompok
masyarakat tidak dapat dihindar dalam prktik berbangsa dan
bernegara. Perbedaaan pandangan akan senantiasa muncul dalam menyikapi
permasalahan yang dihadapi bersama. Dalam kondisi semacam itu, perbedaan
tersebut harus selalu dikembalikan kepada kesepakatan bersama yang telah
dibuat, yaitu norma-norma dasar dalam konstitusi. Sebab, itulah wujud
kesepakatan bersama yang harus dipatuhi dalam menjalani kehidupan
bersama sebagai satu bangsa. Perbedaan tidak dapat selalu diselesaikan dengan
kekuataan jumlah dan kekuatan politik mayoritas-minoritas. Jika hal itu
yang dikedepankaan, maka akan mudah muncul keretakan sosial yang membahayakan
keselamatan dan kemajuan bersama.
Sedangkan apabil terjadi perbedaan dalam memaknai ketentuan
dasarmkonstitusional, maka yang harus dikedepankan adalah proses dialog sosial
dengan tetap menyadari keragaman bani gsa dari berbagai aspek, termasuk
perbedaan mayoritas-minoritas tadi, Mayoritas harus tetap berpegang dan
mengedepankan kesepakatan bersama dalam konstitusi, terutama hak-hak
konstitusional yang harus dilindungi. Sebaliknya, walaupun dijamin hak-haknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengertian
UUD 1945 adalah hukum dasar yang menetapkan
struktur dan prosedur organisasi yang harus diikuti oleh otoritas publik agar
keputusan-keputusan yang dibuat mengikat komunitas politik.
2. Sifat, ciri
dan tujuan UUD 1945 yaitu:
Sifat UUD
1945 antara lain;
v
Singkat artinya UUD RI 1945 hanya memuat sendi – sendi
pokok hukum dasar Negara Indonesia, yang hanya terdiri dari 37 Pasal.
v
Fleksibel artinya dapat menyesuaikan
diri dengan perkembangan masyarakat.
Ciri UUD
1945 diantaranya organisasi negara, hak-hak
asasi manusia, prosedur
mengubah undang-undang dasar, adakalanya
membuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar dan memuat cita-cita rakyat dan asas-asas ideology negara.
Tujuan UUD
1945 yaitu:
-
Pembatasan
sekaligus pengawasan terhadap proses-proses kekuasaan politik.
-
Pelepasan
kontrol kekuasaan dari penguasa sendiri.
- Pemberian
batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
-
Aturan main
(rule of the game) fundamental bagi setiap kehidupan bermasyarakat dan
kehidupan bernegara.
3.
Perubahan
konstitusi atau UUD di indonesia sendri mengalami beberapa amandemen. Dalam
melakukan perubahan harus memerhatikan hal-hal berikut:
Ø Sidang badan
legislative ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan quorum untuk
sidang yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimum
anggota badan legislatif untuk menerimanya Referendum
atau plebisit.
Ø Negara-negara
bagian dalam Negara federal (seperti Amerika Serikat, ¾ dari 50 negara bagian
harus menyetujui).
Ø Musyawarah
khusus (special convention) (seperti di beberapa Negara Amerika Latin).
4.
Kedudukan
UUD 1945
Sebagai Hukum Dasar atau Hukum
Pokok, UUD 1945 dalam kerangka tata aturan atau tata tingkatan norma hukum yang
berlaku menempati kedudukan yang tinggi dan semua perundang-undangan,
peraturan-peraturan yang berada di bawahnya tidak boleh bertentangan. Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu
hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum
tertulis.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Gatara, AA Sahid. 2009. Ilmu Politik. Bandung: Pustaka Setia
Ranadireksa, Hendarmin.2007. Arsitektur Konstitusi Indonesia. Bandung: Fokusmedia
Mulyanti, Risna. 2015. Kedudukan UUD 1945, (Online), (http://risnamuliyanti.blogspot.co.id/2015/02/kedudukan-uud-1945-di-negara-indonesia.html), diakses 25 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment